Akhlak
tasawuf
implementasi IKHLAS DALAM HIDUP
Makalah ini
Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah
Tasawuf
Oleh :
Imam Arifin (14250029)
Dosen Pengampu: H. Hafiyun
PROGRAM
STUDI ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
FAKULTAS
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr. wb.
Puji dan syukur kami ucapkan kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat
menyelesaikan tugas makalah ini. Saya juga bersyukur atas berkat rezeki dan
kesehatan yang diberikan kepada kami sehingga kami dapat mengumpulkan bahan–bahan
materi makalah ini dari berbagai sumber. Kami telah berusaha semampu saya untuk
mengumpulkan berbagai macam bahan tentang akhlak tasawuf.
Kami sadar bahwa makalah yang kami
buat ini masih jauh dari sempurna, karena itu kami mengharapkan saran dan
kritik yang membangun untuk menyempurnakan makalah ini menjadi lebih baik lagi.
Oleh karena itu kami mohon bantuan dari para pembaca.
Demikianlah makalah ini kami buat,
apabila ada kesalahan dalam penulisan maupun isi, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya
dan selanjutnya kami sampaikan terima kasih.
Wassalamualaikum. wr. wb.
Kota
gede, 04 Juni 2015
Imam Arifin
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Sufisme
atau tasawuf mengandungi nilai-nilai spiritual yang tinggi. Ia berusaha membina
dan membangun psikologi dan pribadi Islam melalui takhalliyyah al-nafs, tahalliyyah
al-nafs dan tajalliyyah al-nafs. Tasawuf merupakan maqam dalam
mencapai kebersihan dan kesucian hati (tazkiyah al-nafs). Apabila
tasawuf dilaksanakan dengan sempurna maka ia akan menghasilkan keperibadian
Islam dan kesehatan mental. Maqam dan peringkat-peringkat
perjalanan dalam tasawuf adalah seperti; tawbah, zuhd, sabr,
tawakkal, rida, mahabbah, khawf, tawaddu, taqwa,
ikhlas, shukr dan ma`rifah.
Ikhlas
merupakan hakikat dari agama dan kunci dakwah para Rasul. Suatu ketaatan apapun
bentuknya jika dilakukan dengan tidak ikhlas dan jujur terhadap Allah, maka
amalan itu tidak ada nilainya dan tidak berpahala, maka seharusnya amal
perbuatan yang kita lakukan sehari-hari itu harus berlandaskan cinta dan
ketulusan kepada allah, bukan kesombongan.
Tulisan
ini akan menjelaskan tentang konsep-konsep ikhlas dan relevansinya dengan
kehidupan sehari-hari serta mencoba membaca realitas sejauh mana implementasi
konsep ikhlas dalam islam itu di lakukan oleh umat Islam.
A. Rumusan
Masalah
·
Apa itu ikhlas?
·
Bagaimana bentuk keikhlasan dalam perbuatan
·
Bagimana ciri-ciri dari orang yang ikhlas dalam perbuatanya?
·
Apa saja hal-hal yang merusak sifat ikhlas?
BAB II
PEMBAHASAN
v Pengertian
Ikhlas
Ikhlas
artinya membersihkan maksud dan motivasi bertaqarrub kepada Allah dari berbagai
maksud dan niat lain.
Secara etimologi, ikhlas sering diertikan dengan kemurnian
yang tidak dicampuri hal yang menjadi tujuan. Dalam ajaran sufi keikhlasan
adalah suatu yang diperlukan untuk mendekatkan diri kepada Allah sama ada dari
sudut niat maupun tindakan. Allah berfirman;
÷br&ur óOÏ%r& y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $Zÿ‹ÏZym Ÿwur ¨ûsðqä3s? šÆÏB šúüÏ.ÎŽô³ßJø9$# ÇÊÉÎÈ
“dan
(aku telah diperintah): "Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan
ikhlas dan janganlah kamu Termasuk orang-orang yang musyrik” QS. Yunus: 105.
Dalam sebuah Hadits Rasulullah SAW bersabda; “Ikhlaslah
dalam menjalankan agamamu, pasti kamu mendapatkan balasan walau amal sekecil
apapun.” Ketika beliau ditanya “Apa yang dimaksud iman ?”, Nabi menjawab:”Ialah
ikhlas karena Allah,.” lalu sabdanya: ”Allah tidak akan menerima semua amal
kecuali disertai keikhlasan kepada-Nya serta mengharap keridlaan-Nya semata.” HR.
An-Nasai
Seorang
sufi membersihkan amal perbuatannya daripada ‘ujub, riya’, hubb
al-dunya, hasad, takabbur dan sebagainya dengan
mengerjakan amal soleh semata-mata kerana Allah maka dia disebut sebagai
seorang mukhlis (beramal dengan penuh keikhlasan) dan
perbuatannya itu adalah ikhlas[1]
Jadi ikhlas merupakan
sesuatu hal yang bersifat batiniyah dan teruji kemurniannya dengan amalan
soleh. Ia merupakan perasaan halus yang tidak dapat diketahui oleh siapapun.
Amal perbuatan adalah bentuk-bentuk lahiriyah yang boleh dilihat sedangkan roh
amal perbuatan itu adalah rahsia yaitu keikhlasan.
v Bentuk
keikhlasan dalam Perbuatan/ Amalan
Keikhlasan, apabila ditinjau dalam
bentuk realitas amalan, maka ia dapat dibahagi kepada tiga peringkat, yaitu:
a)
tidak melihat amalan sebagai amalan
semata-mata yaitu tidak mencari balasan daripada amalan dan tidak puas terhadap
amalan; malu terhadap amalan di samping sentiasa berusaha sekuat tenaga
b)
menjaga amalan dengan sentiasa dan
tetap menjaga kesaksian serta memelihara cahaya taufiq yang dipancarkan.
c)
memurnikan amalan dengan melakukan
amalan berasaskan ilmu serta tunduk kepada kehendak Allah
Keikhlasan bukanlah hal yang statik yang sekali wujud akan
sentiasa bertahan selamanya di dalam diri manusia. Ia adalah suatu yang dinamis
yang sentiasa menuntut kesungguhan pemeliharaan dan peningkatan.[2]
Keikhlasan menjadi langkah bagi manusia untuk menumbuh kembangkan potensi sedia
ada yang akan memberi kesan kepada amalan dan teruji dalam kualitas maupun
kuantitas.
v Ciri-Ciri
orang yang Ikhlas ( Mukhlisin)
Suatu
hari Mu’adz Bin Jabal RA meminta nasehat kepada Rasulullah SAW sewaktu dia akan
diutus ke Yaman. Katanya; “Wahai Rasulullah SAW, berilah aku nasehat,” Rasul
bersabda; “Ikhlaslah dalam agamamu, meskipun kerjamu sedikit.” HR.
Al-Hakim
Nasehat Rasulullah SAW
kepada Mu’adz ini mengandung pelajaran yang berharga , antara lain mengungkap
tiga sifat dan sikap para Mukhlishin yaitu;[3]
a) Selalu berbuat baik
walaupun manusia membenci kebaikan yang dia perbuat. Sebagaimana diisyaratkan
dalam firman-Nya: ”Maka sembahlah Allah dengan seikhlas-ikhlasnya beribadah
kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya.” QS. 40: 14
b) Mendasari setiap amal
shalihnya dengan taqwa dan iman kepada Allah SWT.
c) Sikapnya berbuat baik tidak ingin dilihat atau
dipuji manusia, ia bersembunyi di balik amal shalihnya. Ya’kub AS pernah
mengatakan:”Orang yang ikhlas ialah orang yang menyembunyikan kebajikannya
sebagaimana ia menyembunyikan keburukan-keburukannya.”
Ibnu
Alwy memberi batasan Mukhlis (orang ikhlas) yaitu apabila ia melakukan ataupun
meninggalkan sesuatu perbuatan, baik dalam sunyi ataupun banyak orang tetap
menyandarkan tujuannya hanya kepada Allah, tanpa mencampuradukkan dengan maksud
lain, misalnya karena hawa nafsu atau keduniaan (harta, tahta, wanita). Dan
jika dia berniat disamping Allah juga karena manusia, maka dia termasuk Raiy
yaitu orang yang berbuat riya dan amalnya tidak akan diterima. Apabila dia
beramal karena manusia semata, maka dia telah terjerumus ke dalam kebinasaan
dan riyanya telah mencapai tingkat Munafiq.
D.
Hal-hal yang Merusak Keikhlasan
Ada beberapa
hal yang bisa merusak keikhlasan yaitu:
a)
Riya' ialah memperlihatkan suatu
bentuk ibadah dengan tujuan dilihat manusia, lalu orang-orangpun memujinya.
b)
Sum'ah, yaitu beramal dengan tujuan
untuk didengar oleh orang lain (mencari popularitas).
c)
'Ujub, masih termasuk kategori
riya' hanya saja Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membedakan keduanya dengan
mengatakan bahwa: "Riya' masuk didalam bab menyekutukan Allah dengaN
makhluk, sedang ujub masuk dalam bab menyekutukan Allah dengan diri-sendiri
Disamping itu ada bentuk detail dari perbuatan riya' yang sangat tersembunyi,
atau di sebut dengan riya' khafiy.[4]
v Cara
Memelihara Keikhlasan
Sebagai upaya membina terwujudnya keikhlasan yang mantap dalam
hati setiap mu’min, sudah selayaknya kita memperhatikan beberapa hal yang dapat
memelihara ikhlas dari penyakit-penyakit hati yang selalu mengintai kita, di
antaranya;[5]
a.
Dengan meyakini bahwa setiap amal
yang kita perbuat, baik lahir maupun batin, sekecil apapun, selalu dilihat dan
didengar Allah SWT dan kelak Dia memperlihatkan seluruh gerakan dan bisikan
hati tanpa ada yang terlewatkan. Kemudian kita menerima balasan atas
perbuatan-perbuatan tadi.
b.
Memahami makna dan hakikat ikhlas
serta meluruskan niat dalam beribadah hanya kepada Allah dan mencari
keridlaan-Nya semata, setelah yakin perbuatan kita sejalan dengan ketentuan
Allah dan Rasul-Nya. Maka ketika niat kita menyimpang dari keikhlasan,
kembalikanlah kepada keimanan dan ketaqwaan serta segeralah mensucikan diri
dengan bertaubat dan meluruskan kembali niat baik tadi.
c.
Berusaha membersihkan hati dari
sifat yang mengotorinya seperti riya, sum’ah, nifaq atau bentuk syirik lainnya
sekecil apapun. Allah berfirman: ”Barang siapa yang berharap menemui Rabb-nya,
hendaklah ia mengerjakan perbuatan baik dan janganlah mempersekutukan dalam
beribadah kepada Rabb-nya dengan sesuatu apapun.“ QS. 18: 110
d.
Memohon petunjuk kepada Allah agar
menetapkan hati kita dalam ikhlas. Karena hanya Dia-lah yang berkuasa
menurunkan hidayah dan menyelamatkan kita dari godaan syetan yang selalu
menghembuskan kejahatan yang dapat membinasakan manusia. Tidak sedikit manusia
yang terjerumus pada riya dan syirik yang tersembunyi, sebagaimana
diperingatkan dalam Hadits Nabi SAW, sabdanya: ”Barangsiapa yang shalat
dengan riya, sesungguhnya ia telah melakukan syirik, dan barang siapa yang
shaum dengan riya, sesungguhnya ia telah melakukan syirik, dan demikian juga,
barangsiapa yang bersedekah dengan riya sesungguhnya ia telah melakukan syirik.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Secara etimologis, kata ikhlas
merupakan bentuk mashdar dari kata akhlasha yang berasal dari akar kata
khalasha. Menurut Ma’luuf, kata khalasha ini mengandung beberapa macam arti
sesuai dengan konteks kaliamatnya. Ia bisa berarti shafaa (jernih), najaa wa salima (selamat), washala
(sampai), dan I’tazala (memisahkan diri). Maksudnya,
didalam menjalankan amal ibadah apa saja, harus disertai dengan niat yang ikhlas tanpa pamrih
apapun.
Tidaklah heran
apabila kini belum belum banyak orang yang bisa bersikap ikhlas, padahal dia
sudah seringkali berkata “Akan melakukan segala sesuatu dengan ikhlas”. mungkin
dia sudah bisa bersikap ikhlas, tetapi rasa ikhlas itu tidak sepenuhnya
terwujud. Namun, hal itu lebih baik daripada rasa ikhlas tersebut
tidak ada sama sekali dalam diri seseorang. Ibaratnya, rasa ikhlas itu bisa
secara perlahan-lahan ditambah dan terus dipupuk dalam dirinya. Sehingga,
ketika melakukan segala sesuatu, dia bisa bersikap ikhlas secara penuh dan
tidak setengah-setengah.
Orang yang mukmin seharusnya
berusaha membersihkan amal perbuatannya seperti; ‘ujub, riya’, hubb
al-dunya, hasad, takabbur dan sebagainya dengan mengerjakan amal saleh
semata-mata kerana Allah. bukan mengerjakan sesuatu untuk mendapatkan pujian manusia.
Dan orang yang tidak ikhlas Itu
dinamakan
musyrik dan akan disiksa
didalam neraka.
Daftar Pustaka
Http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatannur&id=185. Akses 01 Juni
2015
Khatib Quzwain. Mengenal Allah:
Suatu Pengajian Mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh Abdul Samad Al-Palimbani. Jakarta:
Pustaka Bulan Bintang.
Madjid Nurcholish, (1992). Islam
Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Pustaka Paramadina.
Mansur. Laily. (2002). Ajaran dan
Teladan Para Sufi. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
UIN
SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
[1]Khatib Quzwain, Mengenal Allah: Suatu Pengajian Mengenai Ajaran Tasawuf
Syaikh Abdul Samad Al-Palimbani. Jakarta:
Pustaka Bulan Bintang. hlm. 94-95