anak punx dan masalahnya

http://sosbud.kompasiana.com/2013/09/03/apa-dan-siapa-anak-punk-itu-586202.html
OPINI | 03
September 2013 | 07:22
Indonesia merupakan salah satu
dari sekian banyak negara di dunia dengan jumlah populasi anak jalanan yang
lumayan besar. Data dari Kementerian Sosial RI menyebutkan bahwa pada tahun
2009 jumlah anak jalanan di Indonesia mencapai 135.139 anak dan tersebar di
beberapa kota besar seperti Jakarta, Medan, Surabaya, Semarang, Bandung dan
Yogyakarta (Kemensos RI, 2009).
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk
menghapuskan anak jalanan, baik melalui penangkapan maupun penahanan, dan dalam
beberapa kasus ekstrim adalah penyiksaan, namun keberadaan anak jalanan tetap
tidak berkurang secara signifikan. Sebaliknya, ketika pemerintah cenderung menganggap
fenomena anak jalanan sebagai perilaku menyimpang yang secara potensial
mengarah pada kriminalitas, media dan lembaga non pemerintah justru menganggap
mereka sebagai kelompok rawan sekaligus korban kekerasan secara pasif yang
dilakukan oleh masyarakat yang tidak lagi memiliki kepedulian dan solidaritas
sosial. Perbedaan cara pandang ini semakin rumit tatkala fenomena anak punk
muncul dipermukaan, yang sekaligus meruntuhkan anggapan bahwa anak jalanan
identik dengan kemiskinan dan keterpaksaan. Tulisan ini mencoba membuka
persoalan mengenai semakin maraknya anak punk dan eksistensi mereka di jalanan
serta usulan mengenai pola pendekatan dan penanganan yang ideal yang perlu
dilakukan oleh pemerintah maupun organisasi kemanusiaan non pemerintah.
Banyak definisi mengenai anak jalanan yang dipakai para
akademisi maupun pemerhati anak guna menggambarkan karakteristik anak jalanan.
Namun ironisnya, konsep-konsep tersebut disamping memperkaya pandangan
pandangan mengenai anak jalanan, seringkali justru mangaburkan pengertian anak
jalanan itu sendiri. Aptekar dan Heinonen (2003) mengungkapkan bahwa definisi
umum yang sering dipakai terkait dengan istilah anak jalanan mengacu pada
istilah yang digunakan oleh Unicef. Disini, anak jalanan diklasifikasikan
menjadi tiga kategori:
Pertama, children on the street
yaitu anak beraktifitas di jalanan namun masih memiliki kontak secara rutin
dengan keluarga mereka.
Kedua, children of the street,
dimana anak hidup, bekerja dan tidur di jalanan.
Ketiga, children on and off the
street, merujuk pada anak yang memiliki kontak rutin dengan keluarga namun
seringkali hidup, bekerja dan tidur di jalanan. Namun demikian, pada tahun 1990
beberapa ilmuwan sosial mulai mengalihkan istilah anak jalanan menjadi pekerja
anak untuk menolak labeling anak jalanan.
Salah satu penelitian menarik terkait dengan anak jalanan
di Indonesia, dilakukan oleh Harriot Beazley. Mengambil lokasi di Yogyakarta,
Beazley (2003) mengatakan bahwa ada kecenderungan anak mengartikan hidup di
jalanan sebagai “karir”. Mereka menyadari betapa besarnya stigma negatif yang
melekat pada mereka. Oleh karena itulah sebagai kelompok marjinal, mereka
berupaya menegoisasikan identitas mereka dan mengembangkan strategi adaptasi
terkait dengan aktifitasnya di jalanan. Hal ini terlihat dari kemampuan mereka
dalam memaksimalkan hubungan potensi sistem kekerabatan di jalanan, dan
menjalin hubungan yang apik dengan mantan anak jalanan, pedagang asongan, dan
anak jalanan yang lebih besar. Kelompok-kelompok inilah yang menjadi ‘tali’ dan
mensupport mereka untuk survive di jalanan. Pada titik inilah solidaritas
sesama anak jalanan muncul dan semakin menguat. Dalam akhir tulisannya, Beazley
mengisyaratkan betapa susahnya untuk melakukan rehabilitasi pada mereka yang
telah lama turun dan hidup di jalanan. Mereka yang sudah kembali ke rumah
biasanya turun kembali ke jalan karena tidak bisa menyesuaikan kehidupan dalam
rumah karena banyaknya aturan, tindak kekerasan yang dilakukan orang tua kepada
dirinya, keterbatasan ruang, dan kurangnya kebebasan untuk melakukan sesuatu
yang mereka suka. Mereka juga rindu dengan teman-temannya di jalanan. Karena
itulah dana untuk upaya rehabilitasi sosial pada anak jalanan, akan lebih tepat
diperuntukkan bagi mereka yang masih baru di jalanan dan upaya preventif dengan
melibatkan partisipasi masyarakat (berbasis komuniti).
Permasalahan anak jalanan di Indonesia boleh dikatakan
sangat kompleks. Sejak boom pada tahun 1998 karena dipicu oleh krisis moneter,
fenomena terkini yang sedang marak terkait dengan anak jalanan adalah anak-anak
punk. Mereka diyakini memiliki karakteristik yang sedikit berbeda dengan anak
jalanan pada umumnya. Istilah punk sendiri memiliki arti yang beragam. O’Hara
(1999) mengartikan punk sebagai berikut: (1) Suatu bentuk trend remaja dalam
berpakaian dan bermusik; (2) Suatu keberanian dalam melakukan perubahan atau
pemberontakan; dan (3) Suatu bentuk perlawanan yang luar biasa karena
menciptakan musik, gaya hidup, komunitas, dan kebudayaan sendiri. Anak-anak
punk biasa ditandai dengan gaya berpakaian yang mereka kenakan seperti sepatu
boots, potongan rambut Mohawk ala suku Indian (feather-cut) dengan warna yang
berwarna-warni, celana jeans ketat (skinny), rantai dan paku (spike), baju yang
lusuh, badan bertatto, memakai tindikan (piercing) dan sering mabuk.
Berkaitan dengan punk, Marshall (2005) membagi punk ke
dalam tiga kategori yaitu hardcore punk, street punk, dan glam punk. Jenis
pertama, hardcore punk ditandai dengan gaya pemikiran dan bermusik yang mengarah pada
rock hardcore dengan beat-beat musik yang cepat. Jiwa pemberontakan mereka
sangat ekstrim sehingga seringkali terjadi keributan diantara mereka sendiri.
Jenis kedua, street punk sering disebut ‘The Oi‘ dan anggotanya dinamakan skinheads. Mereka
biasanya tidur di pinggir jalan dan mengamen untuk membeli rokok. Sebagai
akibatnya, mereka banyak bergaul dengan pengamen dan pengemis karena sama-sama
hidup di jalanan. Mereka adalah aliran pekerja keras. Jenis ketiga, glam punk biasanya jarang nongkrong
dengan komuniti mereka di pinggir jalan dan lebih memilih tempat-tempat yang
elite seperti distro atau kafe. Umumnya mereka adalah para seniman dengan
berbagai macam karya seni.
Di Indonesia, komuniti punk yang jumlahnya mayoritas dan
mendapat perhatian yang lebih dari publik adalah anak punk yang ada di jalanan.
Pada umumnya, anak-anak punk tersebut berpendapat bahwa apa yang menjadi gaya
hidup mereka adalah suatu kewajaran hidup di daerah metropolis. Keberadaan
komuniti ini di kota-kota besar, yang sering menghabiskan waktu di jalanan
dengan mengamen di traffic light, gaya berpakaian dan aktifitas nongkrongnya,
dirasakan mengganggu kenyamanan masyarakat karena kekhawatiran akan terjadinya
tindak kriminalitas yang dilakukan oleh mereka.
Penelitian anak punk yang memotret secara lugas kehidupan
mereka di Jakarta dilakukan oleh Wallac. Wallac (2008) mengungkapkan bahwa
musik punk yang mendunia pada era 70-an di Barat juga berpengaruh di Indonesia
dan mencapai puncaknya pada tahun 1990-an. Anak-anak yang tergabung dalam
komuniti punk saling berbagi kesukaan mereka terhadap music dan gaya hidup.
Ikatan kekeluargaan dalam kelompok ini sangat kuat dan jaringan mereka juga
sangat luas. Bagi mereka uang dan pendidikan bukan halangan untuk kumpul
bersama. Mereka mempunyai slogan khas Do It Yourself (DIY). Mereka sering
mengasosiasikan dirinya sebagai orang kecil yang tertindas. Menariknya,
anak-anak yang tergabung dalam kelompok punk pada umumnya adalah mereka yang
masih dikategorikan sebagai keluarga yang mampu, bahkan banyak pula dari mereka
yang berasal dari kalangan menengah ke atas. Namun demikian, pada umumnya
mereka tidak melanjutkan pendidikannya (putus sekolah). Kehidupan mereka sangat
memungkinkan dan rawan untuk terjerumus dalam seks bebas. Anak punk perempuan
yang suka melakukan seks bebas biasa disebut dengan pecun underground. Banyak
dari mereka yang bekerja sebagai tukang parkir, pengamen, dan ‘polisi cepek’.
Sejumlah pemerhati anak yakin bahwa anak-anak punk
sebenarnya adalah anak-anak yang bermasalah. Masalah yang pertama berkaitan
dengan dirinya sendiri. Mereka masih mencari jati dirinya dalam tahapan menuju
kedewasaan. Kurangnya kesiapan diri membuat mereka mengalami kebingungan dalam
mencari identitasnya. Masalah yang kedua berkaitan dengan hubungan dengan
keluarga mereka yang pada umumnya kurang harmonis. Mereka kurang mendapatkan
perhatian dan kasih sayang dari orang tua dan keluarga. Komunikasi tidak lancar
karena kesibukan orang tuanya bekerja. Sebagai konsekuensinya mereka mencari
perhatian di luaran. Terakhir, anak-anak punk adalah anak-anak yang sebenarnya
memiliki kreatifitas tinggi. Karena kreatifitas itu tidak terwadahi dan
mendapatkan perhatian secara serius dari pemerintah, tentu saja mereka sangat
rawan untuk terjerumus dalam tindak kejahatan seperti vandalism, ketergantungan
alkohol, penyalahgunaan narkoba, eksploitasi seksual, prostitusi, HIV/AIDS,
perdagangan manusia maupun rawan percobaan bunuh diri. Hal ini belum termasuk
dengan aparat keamanan dan ketertiban yang sering menangkap mereka dan
memperlakukan mereka dengan buruk.
Permasalahan anak jalanan dan anak punk memang kompleks.
Akan tetapi kita tidak bisa melakukan pembunuhan maupun penyiksaan terhadap
anak jalanan sebagaimana telah dilakukan di Brazil, Guatemala, dan Columbia.
Dunia masih ingat peristiwa mencengangkan pada bulan Juli 1993 di Gereja
Candelaria di Rio de Jeneiro, dimana beberapa polisi tanpa baju dinas menembaki
50 anak jalanan dimana 6 diantaranya meninggal seketika dan 2 anak dibawa ke
sebuah pantai dan dieksekusi. Menariknya ketika acara tersebut ditayangkan di
stasiun radio, hampir sebagian besar penduduk di sana menyetujui tindakan
tersebut. Hal ini dikarenakan budaya masyarakat di sana yang menganggap anak
dalam keluarga adalah malaikat kecil, akan tetapi jika anak tersebut
berkeliaran menggelandang maka mereka tak ada bedanya dengan babi (Summerfield,
2008).
Masih dalam sebuah tulisannya ‘If Children’s Lives are Precious, which Children?’, Summerfield (2008) juga menyebutkan bahwa pada tahun 1991,
sekitar 1.000 anak jalanan dibunuh di Brazil dan 150.000 anak jalanan mati
sebelum mencapai umur setahun karena kemiskinan, sanitasi yang buruk, minimnya
layanan kesehatan, serta 2 juta anak jalanan mengalami malnutrisi. Dalam akhir
tulisannya dia memberikan pertanyaan yang cukup menggelitik: ‘Apakah
dibenarkan membunuh anak-anak karena mereka tidak punya masa depan?’
Tulisan ini telah mengupas sedikit persoalan mengenai
anak-anak punk yang ada di jalanan. Meskipun karakteristik anak-anak punk tidak
jauh berbeda dengan anak-anak jalanan pada umumnya, namun alasan utama mereka
turun ke jalan justru bukan alasan ekonomi. Mereka memiliki masalah dalam
pencarian jati diri dan minim kasih sayang serta perhatian dari orang tua
mereka. Mereka juga tidak memiliki wadah untuk menyalurkan bakat dan
kreatifitas mereka. Karena itulah penyebutan anak jalanan menjadi pekerja anak
menjadi tidak bisa digeneralisir. Jika pemberdayaan dan penguatan ekonomi keluarga
sangat penting untuk anak jalanan pada umumnya, maka pemberian konseling
keluarga sangat tepat untuk anak-anak punk. Penanganan anak-anak punk secara
persuasif harus segera dilakukan baik oleh pemerintah, masyarakat maupun
organisasi non pemerintah. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari anggapan
bahwa jalanan adalah schools of crime (sekolah kejahatan), sehingga mau tidak
mau, tugas kita semua untuk memenuhi dan melindungi hak-hak anak yang sudah
tercantum dalam Konvensi Hak-hak Anak (KHA) dan Undang-undang Perlindungan Anak
(UUPA) yaitu anak harus hidup dalam asuhan keluarga secara layak dan dapat
mengenyam bangku sekolah. Pembantaian dan pembunuhan terhadap anak-anak yang
berada di jalanan bukanlah solusi, melainkan sebuah tindakan biadab yang harus
kita kutuk bersama.