Kontroversi
seputar boleh tidaknya seorang perempuan menjadi presiden seakan tak ada habisnya. Tapi
sekarang fokusnya tidak seperti beberapa waktu menjelang pemilu dan beberapa
saat sebelum Sidang Umum MPR tahun 1999 lalu yang diwarnai oleh penolakan keras
khususnya dari kalangan parpol-parpol Islam tentang kemungkinan wanita menjadi
presiden. Kini parpol-parpol Islam itu telah “merevisi” pendapatnya. Melalui berbagai rekayasa
konstruktif, mereka mencoba mengesahkan kepemimpinan wanita dalam konteks
negara.
Presiden Partai Keadilan, M. Hidayat Nurwahid pun
mengatakan, “Sejak dulu sesungguhnya umat Islam
menerima presiden wanita asal sesama muslim.” (Media
Indonesia 3/3/2001). Bahkan menurut tokoh PDI-P Soetardjo Soerjoguritno, Amien
Rais, Hamzah Haz dan bahkan Ahmad Soemargono yang sebelumnya dikenal gigih menentang kepemimpinan
Megawati, telah bersumpah mendukung Megawati sebagai presiden
Indonesia sampai 2004 (Rakyat Merdeka, 7/3/2001). Sikap ini didukung oleh Nurcholish Madjid
dengan mengatakan bahwa sebagian besar ulama tidak mempersoalkan naiknya wanita
sebagai presiden/kepala negara. Hanya sebagian kecil dari mereka yang melarang
wanita menjadi presiden. Sementara itu, KH Salahuddin Wahid, dalam sebuah
dialog yang diselenggarakan di Mesjid Universitas Indonesia, pada 13/7/2001,
menyatakan, hendaknya umat Islam Indonesia bisa menerima kehadiran Megawati
sebagai kepala negara. Sebab, penolakan Islam terhadap kepemimpinan perempuan
bukanlah harga mati.
Rekayasa konstruktif untuk mengegolkan ide keabsahan kepemimpinan
perempuan dalam entitas negara ini juga terlihat dalam seminar sehari yang
diselenggarakan di komisi VII DPR pada tanggal 4/7/2001. Seminar yang
menghadirkan Nazaruddin Umar dan KH. Husein Mohamad itu bertujuan memberikan
legitimasi syari’ah terhadap keabsahan kepemimpinan wanita dalam konteks
negara. Meskipun demikian, seminar itu lebih tepat disebut sebagai rekayasa
untuk mencairkan hambatan-hambatan teologis yang kerap kali berujung pada
pemerkosaan nash-nash agama dengan kepentingan-kepentingan politik.
Terlepas dari fakta-fakta konkrit di atas, benarkah
Islam, sebagaimana yang kini dikatakan oleh parpol-parpol Islam dan para
intelektual muslim, tidak lagi mempersoalkan apakah wanita boleh atau tidak
menjadi presiden?
Hak dan Kewajiban Yang Diberikan Islam Kepada Lelaki dan Perempuan
Sebelum membahas permasalahan kepemimpinan wanita dalam Islam, dalam konteks kepemimpinan negara, terlebih dahulu akan dibicarakan pembahasan yang lebih mendasar dan karenanya sangat penting, yakni sejauh mana Islam memberikan berbagai hak dan kewajiban kepada laki-laki dan perempuan.
Sebelum membahas permasalahan kepemimpinan wanita dalam Islam, dalam konteks kepemimpinan negara, terlebih dahulu akan dibicarakan pembahasan yang lebih mendasar dan karenanya sangat penting, yakni sejauh mana Islam memberikan berbagai hak dan kewajiban kepada laki-laki dan perempuan.
Dengan melakukan kajian komprehensif (istiqra`) terhadap
nash-nash syara’ yang berhubungan hak dan kewajiban yang diberikan Islam kepada
laki-laki dan perempuan, akan didapatkan kesimpulan berikut. Bahwa Islam telah
memberikan hak kepada perempuan seperti yang diberikan Islam kepada laki-laki,
demikian pula Islam telah memikulkan kewajiban kepada perempuan seperti yang
dipikulkan Islam kepada laki-laki, kecuali hak atau kewajiban yang dikhususkan
Islam untuk perempuan, atau yang dikhususkan Islam untuk laki-laki, berdasarkan
dalil-dalil syar’i. (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad Dustur, halaman 253)
Kesimpulan ini bila dirinci mengandung 3 (tiga) butir
pemikiran : Pertama, bahwa
Islam pada dasarnya memberikan hak dan kewajiban yang sama kepada laki-laki dan
perempuan. Kedua,
bahwa terdapat pengkhususan hak atau kewajiban kepada perempuan saja, atau
laki-laki saja. Ketiga,
pengkhususan ini harus berdasarkan nash-nash syariat dari Al Qur`an dan As
Sunnah.
Kesimpulan ini didasarkan pada fakta dari nash-nash syara’
dalam Al Qur`an dan Al Hadits, bahwa Allah SWT telah berbicara kepada para
hamba-Nya dalam kedudukannya sebagai manusia, tanpa melihat apakah dia
laki-laki atau perempuan. Misalnya firman Allah SWT :
“Katakanlah,’Hai manusia
sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kamu semua.” (QS Al A’raaf : 158)
“Hai sekalian manusia,
bertakwalah kepada Tuhan-mu.” (QS An Nisaa` : 1)
Nash-nash seperti ini berbicara kepada manusia secara umum
tanpa melihat apakah dia laki-laki atau perempuan. Karena itulah, Syariat Islam
datang kepada manusia, bukan datang kepada laki-laki dalam sifatnya sebagai
laki-laki atau kepada perempuan dalam sifatnya sebagai perempuan. Jadi
taklif-taklif syar’i dalam Syariat Islam tiada lain hanyalah dibebankan kepada
manusia. Begitu pula berbagai hak dan kewajiban yang terdapat dalam Syariat
Islam tiada lain adalah hak bagi manusia dan kewajiban atas manusia.
Keumuman dalam khithab Asy Syari’ (seruan/pembicaraan Allah)
ini tetap dalam keumumannya dalam Syariat Islam secara keseluruhan, demikian
pula hukum-hukum yang terkandung dalam Syariat Islam tetap dalam keumumannya,
selama tidak terdapat hukum khusus untuk perempuan yang didasarkan pada nash
syara’, atau hukum khusus untuk laki-laki yang didasarkan pada nash syara’.
Kaidah Ushul Fiqih menetapkan :
Al ‘aam yabqa ‘ala ‘umumihi ma lam
yarid dalil at takhshish.
“Lafazh umum tetap dalam
keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya.”
(Muhammad Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqih, halaman 318)
Jadi jika terdapat nash syara’ yang mengkhususkan keumuman
ini, maka pada saat itulah perempuan dikhususkan dengan hukum khusus untuknya
sebagaimana yang telah dijelaskan oleh nash syara’, demikian pula pada saat
itulah laki-laki dikhususkan dengan hukum khusus untuknya seperti yang telah
dijelaskan oleh nash syara’. Namun hukum-hukum lain yang tidak dikhususkan
tetaplah dalam keumumannya, tanpa mempertimbangkan lagi apakah yang dibebani
hukum itu laki-laki atau perempuan. Kaidah Ushul Fiqih menetapkan :
Al ‘aam ba’da at takhshish hujjatun
fi al baqi
“Lafazh umum yang telah
dikhususkan tetap berlaku sebagai hujjah (dalil) bagi hukum-hukum sisanya (yang
tidak dikhususkan).” (Muhlish Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah,
halaman 43)
Dengan demikian, pengkhususan (takhshish) hukum untuk
laki-laki atau perempuan dengan hukum-hukum tertentu merupakan perkecualian
dari prinsip umum Syariat Islam. Jadi Syariat Islam tetap dalam keumumannya dan
pengecualian (istitsna`) dari keumumannya ini harus berhenti pada batas yang
ada dalam nash syara’, tidak boleh melampauinya. Hukum-hukum yang dikhususkan
untuk perempuan, bukan untuk laki-laki, misalnya keharusan meninggalkan sholat
dan berbuka pada puasa Ramadhan jika perempuan sedang haid. Contoh lainnya,
kesaksian satu orang wanita adalah cukup dan dapat berlaku untuk
perkara-perkara yang pada umumnya tidak dapat diketahui kecuali oleh perempuan,
misalnya perkara keperawanan. Hukum-hukum ini adalah khusus untuk perempuan
karena terdapat nash-nash syara’ yang mengkhususkan hukum ini untuk perempuan,
bukan laki-laki. Selain itu ada pula hukum-hukum yang dikhususkan untuk
laki-laki, misalnya kekuasaan atau pemerintahan, yakni maksudnya tidak
dibenarkan duduk dalam kekuasaan kecuali laki-laki. Ini adalah hukum khusus
untuk laki-laki karena terdapat nash syara’ yang mengkhususkan hukum ini untuk
laki-laki, bukan perempuan.
Namun demikian, pengkhususan yang ada haruslah hanya pada
perkara yang dijelaskan oleh nash syara’, tidak boleh melampaui batas yang
telah digariskan nash syara’ da;am Al Qur`an dan As Sunnah. Misalnya, masalah
pengkhususan kekuasaan bagi laki-laki saja, hanya berlaku untuk konteks
kekuasaan. Jadi yang tidak dibolehkan bagi perempuan hanya menjadi pemimpin
dalam konteks kekuasaaan, tidak mencakup yang lain-lain di luar kekuasaan
seperti peradilan (qadha`) dan kepemimpinan aspek lainnya yang bukan
pemerintahan.
Berdasarkan ini, maka sebenarnya dalam Islam tidak ada yang
dinamakan hak-hak perempuan atau hak-hak laki-laki. Begitu pula dalam Islam
tidak ada apa yang dinamakan kewajiban perempuan dan kewajiban laki-laki. Yang
ada dalam Islam tiada lain adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban manusia dalam
kedudukannya sebagai manusia, tidak melihat lagi apakah dia laki-laki atau
perempuan. Syariat Islam datang untuk manusia pada tiap-tiap hukumnya, kemudian
sebagian daripadanya dikhususkan untuk perempuan dalam kedudukanya sebagai
perempuan dengan nash khusus, sebagaimana sebagiannya dikhususkan untuk
laki-laki dalam kedudukannya sebagai laki-laki dengan nash khusus.
Maka dari itu, berdasarkan keumuman Syariat Islam dan
keumuman tiap-tiap hukum dalam Syariat Islam, maka perempuan berhak
beraktivitas dalam aspek perdagangan, pertanian, dan perindustrian
sebagaimana laki-laki, sebab Syariat Islam telah datang dalam seruan yang
bersifat umum untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Perempuan berhak
pula menjalankan seluruh tasharrufat qauliyah, yakni melaksanakan berbagai
akad-akad dan muamalah sebab Syariat Islam datang untuk manusia, baik laki-laki
maupun perempuan. Perempuan berhak pula memiliki satu sebab di antara
sebab-sebab kepemilikan harta dan berhak pula untuk mengembangkan hartanya
dengan cara syar’i apa pun baik dia kerjakan sendiri maupun dikerjakan orang
lain, sebab Syariat Islam datang untuk manusia, baik laki-laki maupun
perempuan. Demikian pula perempuan berhak pula melakukan kegiatan pendidikan,
berjihad, melakukan kegiatan politik seperti bergabung dengan sebuah partai
politik, serta melakukan segala aktivitas dalam segala aspek kehidupan
sebagaimana laki-laki, sebab Syariat adalah untuk manusia, baik laki-laki
maupun perempuan. (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad Dustur, halaman
255-257)
Kepemimpinan Wanita Sebagai Kepala Negara
Dalam pembahasan ini ada 2 (dua) hal yang harus diperhatikan agar tidak terjadi kerancuan atau kesalahpahaman. Pertama, masalah individu perempuan dalam perannya sebagai pemimpin pemerintahan. Kedua, masalah sistem pemerintahan.
Dalam pembahasan ini ada 2 (dua) hal yang harus diperhatikan agar tidak terjadi kerancuan atau kesalahpahaman. Pertama, masalah individu perempuan dalam perannya sebagai pemimpin pemerintahan. Kedua, masalah sistem pemerintahan.
Kedua hal itu harus dipahami sebagai satu kesatuan, bukan
terpisah, sehingga jika dikatakan bahwa perempuan tidak dibenarkan menjadi
presiden, bukan otomatis dipahami bahwa kalau laki-laki dibolehkan. Dalam
sistem pemerintahan sekuler sekarang ini, baik laki-laki maupun perempuan,
adalah tidak dibenarkan menjadi presiden, sebab sistem pemerintahan dalam Islam
adalah Khilafah, bukan republik, kerajaan, atau sistem pemerintahan sekuler
lainnya.
a. Sistem Pemerintahan
Islam adalah Khilafah, bukan Republik
Sistem kenegaraan dalam Islam adalah Khilafah Islamiyyah, bukan sistem republik, kerajaan, federasi, ataupun kekaisaran. Rasulullah saw bersabda:
Sistem kenegaraan dalam Islam adalah Khilafah Islamiyyah, bukan sistem republik, kerajaan, federasi, ataupun kekaisaran. Rasulullah saw bersabda:
“Dahulu Bani Israil selalu dipimpin dan diperlihara
urusannya oleh para Nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, digantikan oleh
nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi setelah aku. (Tetapi) nanti akan
ada banyak khalifah… (HR. Imam Muslim dari Abi Hazim).
Ijma Shahabat juga menunjukkan dengan jelas, bahwa sistem
kenegaraan dalam Islam adalah sistem Khilafah Islamiyyah. Sistem kenegaraan
lain, selain sistem Khilafah Islamiyyah, bukanlah sistem pemerintahan Islam.
Haram bagi kaum muslim untuk mengadopsi ataupun terlibat dalam sistem-sistem
kufur tersebut. Semisal menjadi presiden, kaisar, ataupun raja.
Ini saja sebenarnya sudah cukup untuk menggugurkan pendapat
bolehnya wanita menjadi presiden. Bahkan bukan hanya wanita saja, laki-laki pun
haram menjadi presiden, raja, ataupun kaisar. Sebab, sistem-sistem tersebut,
bukanlah sistem kenegaraan yang dicontohkan Rasulullah saw. Sistem tersebut
merupakan sistem kenegaraan kufur yang secara diametral bertentangan dengan
Islam. Perkara ini adalah perkara qath’iy (pasti); terang-benderang, seterang
matahari di tengah hari!. Perdebatan yang berlarut-larut tentang absah atau
tidaknya Megawati memegang tampuk kepresidenan, sebenarnya merupakan perdebatan
tak bermutu; disamping akan melupakan persoalan dasarnya; yakni sah atau
tidaknya-menurut Islamsistem kenegaraan yang melingkupinya. Selama sistem yang
diterapkan adalah sistem republik, keterlibatan kaum muslimin dalam sistem ini
-dalam hal kekuasaan, dan penetapan policy-adalah haram. Walhasil, jangankan
Megawati, Gus Dur yang konon kyai haji pun haram menjadi presiden.
b. Islam Mengharamkan
Kepemimpinan Perempuan Dalam Negara
Seluruh ulama sepakat bahwa wanita haram menduduki jabatan kekhilafahan. Jadi masalah haramnya perempuan menjadi pemimpin negara bukanlah masalah khilafiyah. Imam Al-Qurthubiy, menyatakan dalam tafsirnya Al-Jaami’ li Ahkam Al-Quran, Juz I. hal. 270, menyatakan bahwa :
Seluruh ulama sepakat bahwa wanita haram menduduki jabatan kekhilafahan. Jadi masalah haramnya perempuan menjadi pemimpin negara bukanlah masalah khilafiyah. Imam Al-Qurthubiy, menyatakan dalam tafsirnya Al-Jaami’ li Ahkam Al-Quran, Juz I. hal. 270, menyatakan bahwa :
“Khalifah haruslah seorang laki-laki dan mereka (para
fuqaha) telah bersepakat bahwa wanita tidak boleh menjadi imam (khalifah).
Namun mereka berselisih tentang bolehnya wanita menjadi qadhi berdasarkan
diterimanya kesaksian wanita dalam pengadilan”.
Argumentasi paling gamblang dan sharih tentang haramnya
wanita menduduki tampuk kekuasaan adalah, sabda Rasulullah saw:
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan
kepemimpinan mereka kepada wanita”. (HR Bukhari, Ahmad, Tirmidzi, dan an-Nasa’i
dari Abu Bakrah ra)
Hadits ini dari segi riwayah tidak seorangpun pakar hadits
yang mempersoalkan kesahihannya. Sedangkan dari segi dirayah (pemahaman makna);
dalalah hadits ini menunjukkan dengan pasti haramnya wanita memegang tampuk
kekuasaan negara. Meski dalam bentuk ikhbar -dilihat dari sighatnya- hadits ini
tidak otomatis menunjukkan hukum mubah. Sebab, parameter yang digunakan untuk
menyimpulkan apakah sebuah khithab berhukum wajib, sunnah, mubah, makruh,
ataupun haram adalah qarinahnya (indikasi), bukan sighatnya (bentuk
kalimatnya).
Latar belakang turunnya hadits ini memang ditujukan kepada
masyarakat Persia yang menyerahkan urusan kekuasaan kepada seorang wanita. Akan
tetapi, walaupun hadits ini merupakan komentar atas suatu kejadian pengangkatan
wanita menjadi raja, namun kata “qaumun” (isim jins dalam bentuk nakirah) ini
memberikan makna umum (‘aam). Artinya kata qaum di atas berlaku untuk semua
kaum, termasuk kaum muslim di dalamnya. Dalam redaksi hadits itu, Rasul tidak
melafadzkan dengan kata, lan yufliha qaum al-faaris (tidak beruntung masyarakat
Persia), akan tetapi menggunakan kata-kata umum, yakni “qaumun”. Selain itu,
tidak ada satupun riwayat yang mentakhsish hadits ini. Dengan demikian berlaku
kaidah, Al-‘aam yabqa fi ‘umuumihi ma lam yarid dalil at-takhsish” (Lafadz umum
tetap dalam keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya).
Sedangkan latar belakang (sababul wurud) turunnya hadits ini tidak pula bisa
digunakan dalil untuk mentakhshishnya (mengkhususkannya). Sebab, lafadz hadits
ini dalam bentuk umum. Sedangkan latar belakang kejadian bukanlah dalil syara’.
Karena latar belakang bukanlah hadits Nabi. Oleh karena itu latar belakang
sabda Nabi di atas tidak ada kaitannya sama sekali dengan penetapan hukum. Oleh
karena itu latar belakang atau suatu sebab dari suatu dalil tidak dapat
mentakhsis dalil. Maka berlaku kaidah bahasa yang masyhur dalam ilmu usul fiqh,
“Al-‘Ibrah bi ‘umum al-lafzhi la bi khususi as-sabab,” (pengertian diambil dari
umumnya lafadz bukan khususnya sebab).
Adapun hukum yang terkandung di dalamnya pembahasannya
sebagai berikut. Meski, hadits ini dalam bentuk ikhbar (kalimat berita), namun
di dalam lafadz hadits itu ada qarinah yang menunjukkan keharamannya secara
pasti.. Pertama, harf lan (harf nahy li al-mustaqbal au li al-ta’bid), huruf
larangan untuk masa mendatang jadi maksudnya adalah tidak akan pernah, dan
untuk selamanya. Kedua, huruf lan ini dihubungkan dengan yufliha (beruntung),
lafadz ini menunjukkan adanya dzam (celaan) dari Rasulullah SAW.
Menjawab Beberapa Keraguan !!
1. Memang ada sementara kalangan, misalnya Fatima Mernissi seorang feminis muslim, yang meragukan keabsahan hadits tersebut. Kendati shahih, mereka meragukan kredibilitas perawi hadits ini, yakni shahabat Abu Bakrah, sebagai orang yang kesaksiannya diragukan lantaran didakwa pernah melakukan tuduhan palsu dalam kasus perzinahan di masa khalifah Umar bin Khattab. Tuduhan ini ternyata tidak terbukti. Kitab Tahdzibu al-Kamal fi Asma`i al-Rijal, juga Thabaqat Ibnu Saad dengan tegas menyebut bahwa shahabat Abu Bakrah adalah shahabat yang alim dan perawi yang terpercaya (tsiqah).
1. Memang ada sementara kalangan, misalnya Fatima Mernissi seorang feminis muslim, yang meragukan keabsahan hadits tersebut. Kendati shahih, mereka meragukan kredibilitas perawi hadits ini, yakni shahabat Abu Bakrah, sebagai orang yang kesaksiannya diragukan lantaran didakwa pernah melakukan tuduhan palsu dalam kasus perzinahan di masa khalifah Umar bin Khattab. Tuduhan ini ternyata tidak terbukti. Kitab Tahdzibu al-Kamal fi Asma`i al-Rijal, juga Thabaqat Ibnu Saad dengan tegas menyebut bahwa shahabat Abu Bakrah adalah shahabat yang alim dan perawi yang terpercaya (tsiqah).
2. Kemudian ada lagi
yang mengatakan bahwa kepemimpinan laki-laki atas wanita secara mutlak hanya
ada dalam konteks rumah tangga. Memang ayat 34 dari
surah Annisa, menyebutkan bahwa para lelaki menjadi pemimpin atas perempuan.
Bila ayat ini dimaksudkan sebagai petunjuk tentang kepemimpinan laki-laki atas
perempuan dalam rumah tangga, maka dengan mafhum muwafaqah, dalam urusan yang
lebih besar, yakni urusan negara, lelaki tentu lebih wajib lagi menjadi
pemimpin.
Imam Az Zamakhsyari dalam tafsir Al Kasysyaf menyebutkan
mengenai tafsir surat An Nisaa ayat 34 tersebut, “yaquumuuna alaihinna
aamiriina naahiina kamaa yaqumu al wulaatu ‘ala ar ra’aaya .” (Kaum laki-laki
berfungsi terhadap isteri-isteri mereka sebagai yang memerintah dan melarang,
seperti halnya pemimpin (wali) berfungsi seperti itu terhadap rakyatnya.)”
3. Argumentasi yang
mengatakan bahwa syarat wajibnya pemimpin dari kaum lelaki hanyalah untuk
negara Islam (Khilafah Islamiyah), oleh karena Indonesia bukan negara Islam
syarat tersebut tidak bisa digunakan, tidak bisa diterima.
Mengingat celaan rasul ketika anak perempuan Kisra diangkat menjadi ratu
menggantikan ayahandanya yang meninggal terjadi juga bukan di negara Islam.
Kisra adalah julukan
untuk pemimpin tertinggi dalam kekaisaran Persia.
untuk pemimpin tertinggi dalam kekaisaran Persia.
4. Dikatakan bahwa Imam
Ibnu Jarir al-Thabari dan sebagian ulama Malikiyah (pengikut madzhab Imam Malik
bin Anas) seperti dilansir oleh Ibnu Hajar al-Asqalani disebut-sebut
membolehkan seorang perempuan menjadi kepala negara.
Sebenarnya tidak, karena yang dimaksud dalam kitab tersebut bukan kebolehan
perempuan menjadi kepala negara tapi menjadi qadhi (hakim). Jelas berbeda
antara qadhi dan kepala negara.
5. Argumen bahwa wanita
dalam Islam bisa saja menjadi kepala negara sebagaimana ditunjukkan pada kisah
Syajaratuddur dan ratu Bilqis tidak bisa diterima.
Memang ratu Syajaratuddur, seorang perempuan dari dinasti Mamalik pernah
berkuasa di Mesir. Tapi kenyataan sejarah ini tidak bisa dijadikan landasan
argumentasi bolehnya seorang perempuan menjadi presiden, karena landasan
syar’iy adalah Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ Shahabat dan Qiyas. Lagi pula
Syajaratuddur mendapatkan kekuasaan secara kebetulan. Ia kebetulan adalah istri
dari penguasa Mesir, Malikus Shalih, yang tunduk kepada khalifah al-Mustansir
Billah dari Bani Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Setelah Malikus Shalih
wafat, kekuasaannya diserahkan kepada istrinya Syajaratuddur. Mendengar hal
ini, khalifah al-Mustansir Billah segera mengirim surat mempersoalkan keadaan
di Mesir, apakah tidak ada laki-laki yang bisa menjadi pemimpin. Bila tidak ada,
khalifah akan segera mengirim seorang laki-laki untuk menggantikan Malikush
Shalih memimpin Mesir. Akhirnya, setelah berkuasa selama tiga bulan,
Syajaratuddur digantikan oleh Emir Izzudin yang kemudian menikahinya.
Demikian juga tentang kisah ratu Bilqis. Kisah yang
diabadikan dalam al-Qur’an tidak bisa dijadikan sebagai landasan syar’iy. Lagi
pula, dalam kisah itu, ratu Bilqis akhirnya juga melepaskan kekuasaanya setelah
ditundukkan oleh Nabi Sulaiman dalam tempo sesingkat-singkatnya. Bahkan
akhirnya menjadi istri nabi yang telah menaklukkannya itu.
Lagipula, kisah umat sebelum Islam dalam ushul fiqih
termasuk dalam Syar’u Man Qablana (Syariat Umat Sebelum Kita) yang sebenarnya
tidak merupakan syariat bagi kita (umat Islam).Sebab syariat Islam telah menasakh
syariat-syariat sebelum Islam, sesuai firman Allah SWT :
“Dan telah Kami turunkan kepadamu Al Qur`an dengan membawa
kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan
sebelumnya) dan muhaimin (penasakh) terhadap kitab-kitab yang lain itu…” (QS Al
Maaidah : 48)
Dalam hal ini para ulama Asy’ ariyah, Imam Ahmad (dalam satu
riwayat), Ibnu Hazm, sebagian ulama Ahnaf, dan mayoritas mujtahid madzhab Asy
Syafi’i (seperti Al Ghazali, Al Amidi, Ar Razi) berpendapat bahwa syariat umat sebelum
kita, bukanlah syariat bagi kita (Muhammad Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul
Al Fiqh, hal. 209)
6. Haramnya
kepemimpinan wanita dalam negara juga tidak ada kaitannya dengan pelanggaran
HAM, dan demokrasi. Haramnya kepemimpinan wanita merupakan bagian dari aturan
Islam. Memang benar, dengan menggunakan sudut pandang HAM dan demokrasi yang
kufur, pelarangan wanita dalam kekuasaan negara bisa dianggap pelanggaran.
Sebab, aturan HAM dan demokrasi memang menetapkan ketentuan semacam itu. Namun,
seorang mukmin sejati, hanya mengambil ketetapan dari Al-Quran dan Sunnah,
walaupun bertentangan dengan HAM dan demokrasi. Bukan sebaliknya, yaitu
mengambil HAM dan demokrasi walaupun bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah.
Cukuplah Al-Quran dan As Sunnah sebagai dalil bagi kaum muslim dan dia tidak
akan berfikir untuk memilih yang lain. Tentu bagi seorang muslim yang bertakwa,
keridha’an Allah segala-galanya bagi dia. Sikap yang semacam inilah yang
seharusnya dimiliki oleh muslim yang bertakwa. Sebagaimana firman Allah Ta’ala
dalam surah al-Ahzab ayat 36. Maka memilih HAM dan demokrasi dan mencampakkan
Al-Quran dan As Sunnah, merupakan bentuk kesesatan yang nyata! Bahkan, Allah
swt menjelaskan pula kebatilan serangan kafir kaum feminis yang sok demokratis
dengan firman-Nya :
“Dan janganlah kamu iri
hati dengan apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari
sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka
usahakan, dan bagi wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan” (QS An-Nisaa’ [4]:32)
Penutup !!
Haramnya wanita menduduki tampuk kekuasaan negara, bukanlah perkara khilafiyah. Dalil-dalil sharih telah menunjukkan hal itu. Sudah seharusnya kaum muslim kembali pada keputusan Allah SWT tanpa perasaan ragu maupun perasaan ‘sempit’ dan pasrah dengan sepenuhnya pasrah. Sikap yang seperti itulah yang dijelaskan oleh Allah SWT dalam surah al-Nisa’ ayat 65.
Haramnya wanita menduduki tampuk kekuasaan negara, bukanlah perkara khilafiyah. Dalil-dalil sharih telah menunjukkan hal itu. Sudah seharusnya kaum muslim kembali pada keputusan Allah SWT tanpa perasaan ragu maupun perasaan ‘sempit’ dan pasrah dengan sepenuhnya pasrah. Sikap yang seperti itulah yang dijelaskan oleh Allah SWT dalam surah al-Nisa’ ayat 65.
Maka sikap membangkang terhadap keputusan Allah dan
Rasul-Nya adalah merupakan tindak kemaksiyatan yang paling besar. Apalagi,
kalau sikap tersebut diikuti dengan tindakan pemerkosaan dan pemaksaan terhadap
nash-nash qath’iy agar sejalan dengan kepentingan politik dan hawa nafsu
manusia. Sungguh, hanya kembali kepada syari’at Allah dengan menegakkan negara
Khilafah Islamiyyah-lah, kaum muslim akan selamat serta seluruh problem kaum
muslimin dapat dipecahkan dengan sahih. [Muhammad
Shiddiq Al Jawi]
– – – – –
*Makalah disampaikan dalam Diskusi Panel “Pemimpin Wanita Ditinjau dari Perspektif Islam, Psikolog, dan Aktivis” diselenggarakan oleh UKM FKSM (Forum Kajian dan Studi Mahasiswa) Universitas Janabadra, Yogyakarta, Ahad, 2 September 2001
*Makalah disampaikan dalam Diskusi Panel “Pemimpin Wanita Ditinjau dari Perspektif Islam, Psikolog, dan Aktivis” diselenggarakan oleh UKM FKSM (Forum Kajian dan Studi Mahasiswa) Universitas Janabadra, Yogyakarta, Ahad, 2 September 2001
By: http://www.gaulislam.com/kepemimpinan-perempuan-dalam-pandangan-islam