assalamualaikum.. how are you... mari... ngaji filsafat ! |
A d a
Sejarah metafisika barat selama ini
adalah sejarah akan Ada, demikian simpul Martin Heidegger. Seperti tatkala kita
merasakan nikmatnya kopi, kita sering lupa bahwa ada gula disana. Kelupaan akan
Ada ini sejenis dengan kelupaan akan gula tersebut. Padahal adalah horror jika
kita minum kopi tanpa gula (kecuali orang yang sudah merasa dirinya manis). Metafisika
barat sebuk bertanya apa itu dunia, member definisi bermacam tentangnya, dan
lupa menyadari bahwa semua ini Ada. Ya, semua ini Ada. Eksistensi start lebih
dulu daripada esensi.
Kesadaran yang muncul dari rasio
modern hanyalah salah satu cara Ada menguakkan dirinya dalam sejarah
pengungkapan Ada. Sayangnya, kritik Heidegger, kesadaran rasio modern ini
menangkap Ada dengan sangat manipulative. Sehingga Ada itu sendiri masih tetap
tersembunyi. Menurut Heidegger, Ada memang tidak mungkin diketahui secara
pasti. Kendati demikian, kita bisa memulai pencarian akan Ada melalui mengada yang
bisa mempertanyakan Ada : manusia (Dasein). Maka, sebagai
konsekuensinya, manusia adalah mengada yang mencari makna
berada-dalam-dunia. Di sana, ia bergulat dalam dunia, berusaha menjadi makhluk
yang otentik, dengan rasa peduli (sorge) terhadap dunia.
“nah, tuan Heidegger,” salah satu
peserta kuliahnya menyela, “penjelasan anda sungguh sangat menawan. Pemikiran
demikian ini akan sangat mengguncang pola pikir filsafa barat. Akan tetapi, ini
yang saya khawatirkan, semoga anda tidak sedang mengada-ada saja?”
“dan saya berharap,” komentar
Heidegger. “pernyatann saudara ini tidak mengada-ada juga.”
Heidegger Menembak Arendt
Agar sedkit menggelegar, kita sebut
Heidegger sebagai filsuf martil. Ialah yang mengetuk palu perpisahan dengan
filsafat barat. Tapi, kali ini kita tidak sedang ingin cerita seram tentang pemikiran
Heidegger. Kita ingin tahu kisah ceritanya. Karena ini soal cinta, bolehlah
kita bertanya pada rumpun yang bergoyang.
Sewaktu menjawab professor muda di
universitas Marburg, ia jatuh cinta kepada Hanna Arendt, mahasiswinya sendiri.
Arendt, kita tahu dari buku-buku, memang antusias dengan pimikiran Heidegger,
dosennya. Tapi apakah dengan ini lantas perjalanan cinta Heidegger menjadi
mudah? Ternyata tidak.
“beri aku alasan filosofis mengapa
aku tidak menerima cintamu?” pinta Arendt.
Heidegger tersendak. Soal filsafat,
ia jagonya. Soal cinta, ia bagai betina dikandang jago. Ia kamudian mereka-reka
jawaban.
“sebab”, kata Heidegger, “sebagaimana
bahasa adalah rumah Anda, engkau bagiku adalah rumah cinta”.
Arendt menerima. Arendt pengin punya
rumah.