Selasa, 27 Januari 2015

filsafat humor #3



assalamualaikum..  how are you... mari... ngaji filsafat !  
A d a

Sejarah metafisika barat selama ini adalah sejarah akan Ada, demikian simpul Martin Heidegger. Seperti tatkala kita merasakan nikmatnya kopi, kita sering lupa bahwa ada gula disana. Kelupaan akan Ada ini sejenis dengan kelupaan akan gula tersebut. Padahal adalah horror jika kita minum kopi tanpa gula (kecuali orang yang sudah merasa dirinya manis). Metafisika barat sebuk bertanya apa itu dunia, member definisi bermacam tentangnya, dan lupa menyadari bahwa semua ini Ada. Ya, semua ini Ada. Eksistensi start lebih dulu daripada esensi.
Kesadaran yang muncul dari rasio modern hanyalah salah satu cara Ada menguakkan dirinya dalam sejarah pengungkapan Ada. Sayangnya, kritik Heidegger, kesadaran rasio modern ini menangkap Ada dengan sangat manipulative. Sehingga Ada itu sendiri masih tetap tersembunyi. Menurut Heidegger, Ada memang tidak mungkin diketahui secara pasti. Kendati demikian, kita bisa memulai pencarian akan Ada melalui mengada yang bisa mempertanyakan Ada : manusia (Dasein). Maka, sebagai konsekuensinya, manusia adalah mengada yang mencari makna berada-dalam-dunia. Di sana, ia bergulat dalam dunia, berusaha menjadi makhluk yang otentik, dengan rasa peduli (sorge) terhadap dunia.
“nah, tuan Heidegger,” salah satu peserta kuliahnya menyela, “penjelasan anda sungguh sangat menawan. Pemikiran demikian ini akan sangat mengguncang pola pikir filsafa barat. Akan tetapi, ini yang saya khawatirkan, semoga anda tidak sedang mengada-ada saja?”
“dan saya berharap,” komentar Heidegger. “pernyatann saudara ini tidak mengada-ada juga.”


Heidegger Menembak Arendt


Agar sedkit menggelegar, kita sebut Heidegger sebagai filsuf martil. Ialah yang mengetuk palu perpisahan dengan filsafat barat. Tapi, kali ini kita tidak sedang ingin cerita seram tentang pemikiran Heidegger. Kita ingin tahu kisah ceritanya. Karena ini soal cinta, bolehlah kita bertanya pada rumpun yang bergoyang.
Sewaktu menjawab professor muda di universitas Marburg, ia jatuh cinta kepada Hanna Arendt, mahasiswinya sendiri. Arendt, kita tahu dari buku-buku, memang antusias dengan pimikiran Heidegger, dosennya. Tapi apakah dengan ini lantas perjalanan cinta Heidegger menjadi mudah? Ternyata tidak.
“beri aku alasan filosofis mengapa aku tidak menerima cintamu?” pinta Arendt.
Heidegger tersendak. Soal filsafat, ia jagonya. Soal cinta, ia bagai betina dikandang jago. Ia kamudian mereka-reka jawaban.
“sebab”, kata Heidegger, “sebagaimana bahasa adalah rumah Anda, engkau bagiku adalah rumah cinta”.
Arendt menerima. Arendt pengin punya rumah.