SESUAI dengan janji
Presiden Joko Widodo di Pondok Pesantren Babussalam, Malang
pada masa
kampanye Pilpres 2014, tanggal 1 Muharam akan
dijadikan Hari Santri Nasional. Janji itu dikuatkan dengan rekomendasi
Rakernas PDIP 2014 yang menyatakan hal yang sama. Secara ’urfi,1 Muharam 1436 H jatuh
pada Sabtu, 25 Oktober 2014.
Lalu, apa
yang dimaksud hari santri? Makna apa yang perlu digali dan pesan apa yang perlu
disampaikan secara nasional? Sambil menunggu ketetapan dan tafsiran resmi dari
pemerintah, sebagai orang yang tumbuh dan hidup di dunia santri serta
pesantren, saya berusaha memberikan perspektif tentang pemaknaan Hari Santri
Nasional.
Pertama, pemaknaan Hari Santri Nasional tidak terlepas dari pemaknaan
1 Muharam karena hari santri akan diperingati setiap tanggal tersebut. Sebenarnya, pemerintah telah menetapkan 1 Muharam sebagai
hari libur nasional. Tetapi, 1
Muharam tersebut hanya dirayakan umat Islam atau menjadi milik umat Islam
semata seperti hari libur Idul Fitri dan Idul Adha. Sementara itu, umat agama
lain hanya memberikan pengakuan.
Dengan
akan ditetapkannya 1 Muharam sebagai Hari Santri Nasional oleh pemerintah,
peringatan 1 Muharam bisa menjadi lain, khususnya ketika kata nasional itu
disamakan dengan kata nasional pada Hari Batik Nasional.
Karena itu, hari santri dan 1
Muharam dapat menjadi milik bersama dan dirayakan seluruh bangsa Indonesia. Hal
tersebut juga sangat tepat karena banyak nilai yang dapat digali dari
peringatan hari santri yang jatuh pada 1 Muharam yang bisa menjadi penggerak
untuk perbaikan bangsa sebagaimana dijelaskan di bawah ini.
Kedua, 1 Muharam
adalah peringatan peristiwa berpindahnya (baca: hijrahnya) komunitas Islam dari
Makkah ke Madinah yang dipimpin Muhammad SAW yang kemudian dijadikan penanda
dimulainya kalender Islam atau Hijriah.
Hijrah ketika itu sering dilihat
sebagai satu bentuk keberanian orang Islam Makkah (muhajirin) untuk melakukan perubahan sosial yang
fundamental (baca: revolusi) dengan cara meninggalkan semua kehidupan material
maupun sosial mereka di Makkah dan membangun harapan baru di Madinah.Keberanian para muhajirin tersebut kemudian disambut umat Islam di Madinah (ansar) dengan memberikan sebagian harta mereka dan kehangatan sosial bagi para muhajirin. Sambutan kaum ansar tersebut kemudian melahirkan rasa empati yang berkelanjutan antara dua kelompok itu sehingga lahirlah budaya kebersamaan dan tolong-menolong yang tinggi antara muhajirin dan ansar. Persitiwa hijrah itulah yang sering dianggap tonggak penting bagi berkembangnya komunitas Islam di Jazirah Arab.
Ketiga, santri dalam arti yang sempit adalah sebutan untuk seorang murid yang tinggal di pesantren untuk menuntut ilmu. Secara lebih umum, santri juga sering dimaknai sebagai orang yang taat menjalankan ibadah dan atau orang yang menguasai beberapa ilmu keislaman.
Pada zaman pra kemerdekaan, santri dan pesantren merupakan salah satu basis penting bagi perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah. Hubungan patron-klien antara kiai-santri sangat memudahkan mobilisasi anti penjajahan di kalangan santri.
Contohnya,
fatwa dan gerakan jihad melawan penjajah yang dikeluarkan dan dipimpin langsung
oleh para ulama seperti Syekh Yusuf al Makassari, Kiai Jaitra Ciwaringin, Kiai
Abas Buntet, dan Kiai Hasyim Asy’ari. Para ulama tersebut tercatat telah
beberapa kali dipenjara dan diasingkan penjajah Belanda untuk meredam
perlawanan kaum santri.
Bahkan, gerakan spiritual tarekat
(kelompok santri yang sering dipersepsikan tidak tertarik pada kehidupan
keduniaan) justru telah menjadi basis gerakan politik melawan penjajah. Tarekat
Qadiriyah dan Naqsabanndiyah sering dianggap sebagai kekuatan yang ditakuti
penjajah Belanda.Salah satu peninggalan semangat perjuangan santri saat ini adalah sarung dan peci. Pada zaman pra kemerdekaan, sarung dan peci merupakan simbol perlawanan terhadap penjajah. Bahkan, ketika itu, beberapa kiai mewajibkan penggunaan sarung dan peci serta mengharamkan pemakaian celana panjang dan topi karena dianggap sebagai pakaian penjajah.
Wal akhir, ada beberapa lesson learnt yang bisa diambil
bangsa Indonesia maupun pemerintahan Jokowi-JK dari Hari Santri Nasional yang
jatuh setiap 1 Muharam. Pertama, untuk melakukan perubahan fundamental yang
lebih baik, kita perlu berhijrah. Hijrah merupakan bentuk revolusi sosial yang
damai, namun membutuhkan pengorbanan besar, seperti kaum muhajirin yang rela
meninggalkan semua materi yang dimiliki di Makkah.
Revolusi
mental yang akan dieksekusi
pemerintahan Jokowi-JK dapat berkaca dari hijrahnya Muhammad serta pengikutnya
dari Makkah ke Madinah. Para pemimpin bangsa di eksekutif maupun legislatif
harus menjadi kaum muhajirin untuk
memulai dan memimpin hijrah (revolusi) ini secara lebih berani dan strategis.Mereka harus siap mengorbankan jiwa dan materi untuk kepentingan bangsa. Jika sudah demikian, rakyat pun harus menjadi kelompok ansar, menjadi penyokong bagi perjuangan para pemimpin, dengan siap mengorbankan jiwa dan raga untuk kepentingan bangsa.
Berkaca dari peristiwa hijrah, revolusi mental, kedaulatan energi, kemandirian pangan, dan berbagai rencana program pemerintah lainnya bukanlah perjuangan pemerintah semata. Namun, ia harus menjadi perjuangan bersama, pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia.
Di samping itu, nilai-nilai yang sudah dibangun para santri pada zaman pra kemerdekaan sangat layak dikembangkan menjadi nilai-nilai luhur perjuangan bangsa saat ini. Di antaranya, keberanian dan ketaatan. Keberanian melawan kepentingan penjajah (baca: asing) yang bercokol di tanah air dan ketaatan kepada kiai (baca: pemimpin) secara tulus. Wallahul muwafiq ila aqwaamittoriq.
*) Pengasuh Ponpes Salafiyah Pulutan Salatiga dan alumnus Program S-3 Fulbright di Texas A&M University, AS (munajatstain@gmail.com)