Rabu, 04 Mei 2016

TOR DISKUSI KPM TEMANGGUNG MENCARI IDIOLOGI DAN PARADIGMA

tor diskusi kpm temanggung
mencari idiologi dan paradigma

Pancasila adalah satu idiologi yang telah diakui oleh bangsa kita, Perumusan pandangan dasar ini berawal dari kegelisahan bangsa Indonesia untuk menentukan sikap, dari pergolakan internal bangsa Indonesia sendiri maupun dari external dari pergolakan idiologi dunia. Sebagaimana kita ketahui. Perang idiologi di dunia sangat gencar dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Berawal dari abad 18 yang telah mengembor-gemborkan idiologi kapitalisme, yang berkacamata konservatif dan cenderung menentang perubahan serta mempertahankan nilai2 tradisional. Maka dengan adanya suatu pandangan dasar ini, pada zaman ketika itu kapitalisme telah merubah keadaan menjadi lebih maju. Namun seiring berjalanya waktu idiologi kapitalisme ini dipandang sudah usang, ketika ditarik peranya dalam memandang segala realitas kehidupan saat ini. Terlebih lagi idiologi ini gagal dalam menjawab segala tantangan zaman. Maka datanglah pandangan baru yaitu neo-liberalisme yang membebasan pera inindividu dalam menjalankan segala aktivitasnya. Dan meminimalisir peran pemerintah. Namun dengan dengan semangat modernitas akhirnya kedua idiologi ini dianggap kuno dan harus diganti dengan idiologi yang relevan dengan konteks semanggat zaman.
 Dengan adanya dialektika zaman kapitalis ke zaman neo-lib. Maka sebagai jawabanya digagaslah idiologi demokrasi social. dengan pendekatan institusional maka diharapkan akan memeksimalakan peran semua pihak. Terutama pihak pemerintah yang secara pro-aktiv mengatasi segala problema bangsa. Maka dengan berbagai pertimbangan kpm temanggung sudah saatnya menentukan sikap dalam menghadapi segala permainan zaman.
Lanjut gan------.
Dalam mensikapi hal itu kpm yang telah berdiri Sejak 1995 tepatnya pada 15 januari. Kpm temanggung yang telah mempunyai komitmen dalam visi dan misi yang telah dirintisnya. Sebagai gerakan pelopor berpikir maju bagi masyarakat temanggung. Kpm T telah berusaha membangun mental putra dan putri daerah, demi terciptanya generasi yang lebih siap dalam menghadapi kehidupan yang selanjutnya. Kaerifan dan nilai-nilai budaya temanggung, yang telah mengakar pada kehidupan masyarakat selalau mereka pertahankan demi mengapai suatu kemajuan kebudayaan yang di cita-citakan bersama.
Selanjutnya, Kami pikir saudahsaatnya kpm mengambil sikap terhadap pergolakan internal maupun eksternal bangsa indonesia. dengan mencari suatu arah gerak organisasi, maka akan sangat dibutuhkan pencarian jatidiri idiologi yang pas dengan kpm konteks saat ini. Maka diharapkan selanjutnya, terciptanya suatu cara pandang kritis dalam menghadapi berbagai problema yang ada di daerah.

Sehubungan dengan hal itu maka kami akan mengadakan diskusi dan belajar bersama pada,

Hari/tanggal    : Rabu sore / 16 maret 2016
Pukul               : 16.00 wib
Tempat            : Bscame KPM Temanggung

Terimakasih.

ttd

PPSDA

tor diskusi ekonomi politik ikpm Temanggung




Politik-
Membaca kondisi Negara Indonesia saat ini, di masa pasca reformasi. masih selalu hangat untuk diperbincankan terutama dalam masalah sosial. Namun di dalam kancah nasional, hal ini memerlukan tenaga yang tidak sedikit untuk memetakan antara social dan politik. Karna politik selalu menemukan passionya dalam setiap langkah gerakanya. pergerakan politik tidak akan menyia-yiakan hal apapun yang ada di depanya. Jika hal itu dinilai menghalangi maka tak perlu  berpikir lama, sesuatu yang menghalangi itu akan di brangus demi melancarkan apa yang menjadi tujuanya. Nah di dalam negara Indonesia, konteks social Negara sangat berbeda dengan konteks social masyarakat. Karna hubungan social yang ada di masyarakat justru terjadi karna kesadaran perasudaraan. Namun jika melihat interaksi social yang ada di elit masyarakat(pejabat Negara) hubungan mereka cenderung di bangun atas dasar kepentingan. Maka dapat ditarik kesimpulan tradisi yang ada dalam perpolitikan nasional adalah tradisi yang mementingakan diri sendiri. 
Py gan
Keadaan ini diperparah lagi dengan terbuktinya janji-janji politik yang sama sekali jauh meningalkan realistas, sehinga janjinya pun sangat sulit terealisasi,janji mereka pun cenderung dibangun atas ukuran kesejahteraan sendiri, bukan atas dasar kebutuhan masyarakat, sehinga masyarakat hanya bisa berharap serangan fajar (politik uang lainya) dapat di naikan nilai rupiahnya, setelah itu mereka bebas mau menjungkalkan mana yang ia sukai ,sesuai dengan kehendak rakyat. Bukan sebuah idealitas namun ini realitas. Kaedaan rakyat yang meminta uang lebih untuk perjanjian politik demi membeli sembako. Bisa saja dalam Keadaan yang seperti ini terjadi. Dan sudah menjadi hal biasa di budaya politik kita, Yang memperkuat suatu stereotip bahwa politik itu memang kotor.
antusiasme anak anak bangsa ini memang sangat tinggi dalam membangun bangsa ndonesia. Sayangnya ambisi kebangsaan mereka justu terfokus padakepuasan diri sendiri bukan kesejahteraan bangsa.secara idiologis dalam pembukaan UUD 45 telah disebutkan dengan jelas bahwa, Negara melindungi segala tumpah darah, namun yang dilindungi, larut dalam ambisi membangun negri ,mereka justru saling menumpahkan darah antar golongan, maka jangan berpikir terlalu lama, jika hanya mau mengatakan” negera akan tumpah darahnya karna rakyat”.
Tulisan ini bukan apa-apa, tak lebih hanyalah sebuah pengantar diskusi yang akan kita adakan pada:
Waktu  : rabo sore jam 4 tanggal  24 maret 2016

Tempat: UTY kampus 2

Sufi atau secangkir kopi manis

Sudah lima belas jam saya menunggu Gus Mus di kediamannya di Leteh, Rembang, Jawa Tengah. Datang pukul tiga dinihari, saya disambut seorang santri Pesantren Raudlatut Thalibin dan dibikinkan secangkir kopi tubruk. Tak lama setelah salat Subuh berjamaah, saya minta izin meluruskan punggung. Pagi setelah bangun tidur sejenak, saya kembali ke ruang tamu. Sudah ada Gus Wahyu Salvana, suami putri Gus Mus: Ning Raabiatul Bisyriyah Sybt.
Secangkir kopi yang masih mengepul uap sudah terhidang. Saya, yang kali ini sowan kepada Gus Mus, Plt Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang bernama lengkap KH A. Mustafa Bisri, tanpa bikin janji memang harus mengambil risiko: menunggu. Saya tahu Gus Mus sedang di Bekasi, tapi saya tetap saja berangkat dari Jakarta ke Semarang, lalu lanjut ke Rembang setelah ziarah ke makam Sunan Kudus — kemudian ke Tuban.
Dalam berniat, saya memiliki pilihan: menetapi niat atau membatalkan niat. Saya mengajukan pilihan itu kepada Agus “Picus” Affianto, dosen Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang menemani saya dari Semarang. “Saya pilih menetapi niat, Gus,” serunya. Picus dan seorang santri saya dari Pekalongan memang terlihat letih menunggu, namun kami mengisi jam demi jam dengan mengobrol. Ba’da Maghrib, Gus Mus akhirnya rawuh.

,Saya tidak yakin, dan memang tidak terlalu berharap lagi, Gus Mus akan menemui kami. Bersalaman dengan Beliau yang baru turun dari mobil saja sudah sangat melegakan, tak perlu lagi saya berharap lebih. Apalagi, Beliau pasti sangat capek setelah serangkaian perjalanan panjang. “Orang-orang itu salah menilai saya. Dikiranya saya ini makin lama makin muda. Makin tua kok malah makin sibuk karena semakin banyak undangan,” kata Gus Mus.
Seluruh rambutnya sudah berwarna perak. Berpakaian dan bersarung putih, pun kopiah putih dan surban sewarna yang diselempangkan ke leher, Gus Mus gagah dan sangat berwibawa. Suara Beliau yang parau dan berat makin menciutkan nyali saya untuk memohon waktu bertemu. Namun, tak disangka, Gus Mus masih berkenan duduk di antara kami. Satu pertanyaan Gus Mus kepada saya, ”Lha mana kopinya? Sudah ngopi apa belum?”
Belum lagi saya menjawab, Gus Mus sudah menyahut, ”Sufi iku kudu ngopi!” Sejurus kemudian, Beliau memanggil seorang santri dan meminta dibikinkan kopi. Secangkir kecil kopi menemani kami bercengkerama beberapa saat. Meski sudah tidak merokok, Gus Mus membiarkan saya menghisap batang tembakau. Ucapan Beliau bahwa Sufi itu harus ngopi segera mengingatkan saya pada sosok Khalid, penggembala kambing di Kaffa, Abyssinia, abad 9 M.
Kini, Abbyssinia bernama Ethiopia. Waktu itu, kambing yang digembalakan Khalid sontak berlari-lari kencang seperti kelebihan tenaga setelah ia mengunyah beberapa lembar daun dan serumpun buah kemerahan yang mirip buah cherry. Di kemudian hari, Khalid menjadi tahu bahwa ternyata itu daun dan biji kopi. Biji-biji kopi ditumbuk dan direbus dengan air, jadilah minuman. Menghangatkan tubuh, menambah energi, pun membuat mata kuat melek.
Berkat jasa seekor kambing gembalaan, kaum Sufi pun menemukan kopi yang menemani mereka untuk tetap terjaga sepanjang malam dalam zikir dan pikir. Qiyamu ‘l-Lail, atau terjaga dan berjaga di malam hari dengan mendirikan salat, baca Al Qur’an, berzikir dan merenung sangat terbantu oleh Qahwa, sebutan lain untuk kopi. Dikembangkan oleh Sufi Ali bin Omar dari Yaman menjadi obat aneka penyakit, kopi terus menyebar ke seluruh dunia dengan banyak kisah.
Penyebaran kopi menorehkan riwayat panjang, mulai dari penanaman massal, penyebaran agama Islam, penjajahan, perbudakan, penyelundupan, hingga sejumlah eksekusi mati. Kini, mutiara-mutiara hitam itu tersedia dalam ragam pilihan di kedai-kedai kopi. Arabica dan Robusta disajikan dalam deret menu, dari kelas berat sampai kelas bulu. Darione shot espresso sampai kopi saset. Dari kopi dingin di gelas kurus tinggi sampai kopi panas di cangkir mungil.
Bisa berbeda harga hanya gara-gara berbeda nama. Kopi hitam yang di warung cuma Rp 2.000 bisa dibandrol Rp 20 ribu di coffee shop lantaran dilabeli dengan sebutan black coffee. Saya penggila kopi, tapi tidak terlalu gila. Sehari maksimal cuma enam atau tujuh cangkir kopi. Tidak berpengaruh juga jika saya menyesap secangkir kopi sebelum tidur. Hanya saja, sebal juga jika tiap nongkrong atau begadang, selalu kopi yang disajikan untuk saya.
Di alun-alun Tuban seusai ziarah ke makam Sunan Bonang, kopi lagi yang dipesankan Picus untuk saya. Mampir ke toko waralaba dalam perjalanan ke Lamongan untuk berziarah ke makam Sunan Drajat, saya dibelikan sekaleng kopi dingin. Di Gresik, sambil istirahat setelah turun dari mendaki anak-anak tangga ke makam Sunan Giri, lagi-lagi kopi yang Allah kirimkan kepada saya. Ternyata, sungguh benar penuturan Gus Mus di Leteh: “Sufi iku kudu ngopi.”
Secangkir kopi bisa sampai ke hadapan saya sesungguhnya suatu keajaiban luarbiasa. Kopi itu memiliki sejarah teramat panjang sejak dikenal Suku Galla di Afrika Timur pada 1000 tahun Sebelum Masehi (SM). Sebelum tiba di atas meja saya, secangkir kopi itu masih berupa biji-biji yang dipanen dari kebun-kebun kopi. Ribuan, bahkan jutaan manusia, bekerja mengerahkan jiwa raga, membanting tulang, memeras keringat, demi secangkir kopi saya ini.
Kopi bukan lagi minuman para sufi saja, tapi minuman bagi siapa pun, terutama yang memang berhasrat memfungsikan lidah bagian belakang untuk menyesap rasa pahit. Di cerpen berjudul “Mawar Hitam”, saya menulis, ”Aku secangkir kopi saja. Tanpa gula. Aku tak terlalu suka pemanis untuk hal-hal yang memang dikodratkan pahit.” Ah, andai boleh beribadah ditemani secangkir kopi di samping sajadah, saya mungkin akan lebih sering i’tikaf