Dosen masuk kedalam kelas. Mulailah ia mencerca mahasiswa dengan
rentetan pernyataan.
“apakah Tuhan itu ada?”
“adaaaa…,” serentak mahasiswa menjawab.
“apakah kalian bisa melihat Tuhan?” pak dosen lanjut bertanya.
“tidak.”
‘apakah kalian bisa menyentuh Tuhan?”
“tidak.”
“berarti Tuhan itu tidak ada,” tegas pak dosen. Suasana cukup
tegang. Banyak mahasiswa yang rajin beribadah. Kalau tidak ada Tuhan lalu untuk
apa ibadah itu?
“pak dosen,” bersuaralah seorang mahasiswa memecah sunyi. “apakah
bapaka bisa melihat otak?’
“tidak.”
“apakah bapak bisa menyentuh otak?”
“tidak.”
“berarti bapak tidak punya
otak!”
Masyarakat tanpa kelas
Nama
pemuda itu Marx. Aslinya Muhammad Markum. Ia baru saja lulus sarjana. Di rumah,
langsung ia diberi tugas mengajar di SMP pamannya. Dengan penuh semangat ia
mulai mengajar. Ia susu kurikulum sendiri. Sebagaimana pengagum Karl Marx, ia
ingin bikin revolusi itu bisa dimulai. Pendidikan yang tidak membebaskan adalah
pendidikan yang tidak layak untuk digeluti. Pemikiran Karl Marx ia masukkan
dalam bahan ajarannya. Tidak usah bertanya bagaimana tiba-tiba Karl Marx bisa
masuk dalam kurikulum Sekolah Menengah Pertama. Itu urusan Mas Markum
Diakhir
semester, berkatalah ia kepada siswa-siswinya, “kita telah mempelajari
pemikiran Karl Marx sampai tuntas. Hanya saja tujuan Karl Marx akan masyarakat
tanpa kelas belum terwujud.”
“pak
guru, “murinya menyela, “bagaimana masyarakat tanpa kelas itu bisa terwujud?”
“jadi,”
kata Markum, “kitalah yang akan mewujudkan tujuan Marx tersebut. Mulia besok
kelas bubar!”