Selasa, 27 Januari 2015

berfilsafat dengan humor #1

Dosen masuk kedalam kelas. Mulailah ia mencerca mahasiswa dengan rentetan pernyataan.
“apakah Tuhan itu ada?”
“adaaaa…,” serentak mahasiswa menjawab.
“apakah kalian bisa melihat Tuhan?” pak dosen lanjut bertanya.
“tidak.”
‘apakah kalian bisa menyentuh Tuhan?”
“tidak.”
“berarti Tuhan itu tidak ada,” tegas pak dosen. Suasana cukup tegang. Banyak mahasiswa yang rajin beribadah. Kalau tidak ada Tuhan lalu untuk apa ibadah itu?
“pak dosen,” bersuaralah seorang mahasiswa memecah sunyi. “apakah bapaka bisa melihat otak?’
“tidak.”
“apakah bapak bisa menyentuh otak?”
“tidak.”
“berarti bapak tidak punya otak!”

Masyarakat tanpa kelas

Nama pemuda itu Marx. Aslinya Muhammad Markum. Ia baru saja lulus sarjana. Di rumah, langsung ia diberi tugas mengajar di SMP pamannya. Dengan penuh semangat ia mulai mengajar. Ia susu kurikulum sendiri. Sebagaimana pengagum Karl Marx, ia ingin bikin revolusi itu bisa dimulai. Pendidikan yang tidak membebaskan adalah pendidikan yang tidak layak untuk digeluti. Pemikiran Karl Marx ia masukkan dalam bahan ajarannya. Tidak usah bertanya bagaimana tiba-tiba Karl Marx bisa masuk dalam kurikulum Sekolah Menengah Pertama. Itu urusan Mas Markum
Diakhir semester, berkatalah ia kepada siswa-siswinya, “kita telah mempelajari pemikiran Karl Marx sampai tuntas. Hanya saja tujuan Karl Marx akan masyarakat tanpa kelas belum terwujud.”
“pak guru, “murinya menyela, “bagaimana masyarakat tanpa kelas itu bisa terwujud?”
“jadi,” kata Markum, “kitalah yang akan mewujudkan tujuan Marx tersebut. Mulia besok kelas bubar!”