Jumat, 14 Agustus 2015

MAKALAH TASAWUF DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT SUFI

Akhlak tasawuf
implementasi IKHLAS DALAM HIDUP
Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Tasawuf



Oleh  :
Imam Arifin           (14250029)

Dosen Pengampu: H. Hafiyun


PROGRAM STUDI ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA 2015


KATA PENGANTAR
https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSsk88BVwxFFMkatvcvzqI5po69zMXtunn5muNJxJ36zAht4ZCdUQ
Assalamualaikum wr. wb.
Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Saya juga bersyukur atas berkat rezeki dan kesehatan yang diberikan kepada kami sehingga kami dapat mengumpulkan bahan–bahan materi makalah ini dari berbagai sumber. Kami telah berusaha semampu saya untuk mengumpulkan berbagai macam bahan tentang akhlak tasawuf.
Kami sadar bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari sempurna, karena itu kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menyempurnakan makalah ini menjadi lebih baik lagi. Oleh karena itu kami mohon bantuan dari para pembaca.
Demikianlah makalah ini kami buat, apabila ada kesalahan dalam penulisan maupun isi, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya dan selanjutnya kami sampaikan terima kasih.
Wassalamualaikum. wr. wb.
Kota gede, 04 Juni 2015


Imam Arifin









BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Sufisme atau tasawuf mengandungi nilai-nilai spiritual yang tinggi. Ia berusaha membina dan membangun psikologi dan pribadi Islam melalui takhalliyyah al-nafstahalliyyah al-nafs dan tajalliyyah al-nafs. Tasawuf merupakan maqam dalam mencapai kebersihan dan kesucian hati (tazkiyah al-nafs). Apabila tasawuf dilaksanakan dengan sempurna maka ia akan menghasilkan keperibadian Islam dan kesehatan mental. Maqam dan peringkat-peringkat perjalanan dalam tasawuf adalah seperti; tawbah, zuhd, sabr, tawakkal, rida, mahabbah, khawf, tawaddu, taqwa, ikhlas, shukr dan ma`rifah.
Ikhlas merupakan hakikat dari agama dan kunci dakwah para Rasul. Suatu ketaatan apapun bentuknya jika dilakukan dengan tidak ikhlas dan jujur terhadap Allah, maka amalan itu tidak ada nilainya dan tidak berpahala, maka seharusnya amal perbuatan yang kita lakukan sehari-hari itu harus berlandaskan cinta dan ketulusan kepada allah, bukan kesombongan.
            Tulisan ini akan menjelaskan tentang konsep-konsep ikhlas dan relevansinya dengan kehidupan sehari-hari serta mencoba membaca realitas sejauh mana implementasi konsep ikhlas dalam islam itu di lakukan oleh umat Islam.


A.     Rumusan Masalah
·        Apa itu ikhlas?
·        Bagaimana bentuk keikhlasan dalam perbuatan
·        Bagimana ciri-ciri dari orang yang ikhlas dalam perbuatanya?
·        Apa saja hal-hal yang merusak sifat ikhlas?





BAB II
PEMBAHASAN
v  Pengertian Ikhlas
Ikhlas artinya membersihkan maksud dan motivasi bertaqarrub kepada Allah dari berbagai maksud dan niat lain. Secara etimologi, ikhlas sering diertikan dengan kemurnian yang tidak dicampuri hal yang menjadi tujuan. Dalam ajaran sufi keikhlasan adalah suatu yang diperlukan untuk mendekatkan diri kepada Allah sama ada dari sudut niat maupun tindakan. Allah berfirman;
÷br&ur óOÏ%r& y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym Ÿwur ¨ûsðqä3s? šÆÏB šúüÏ.ÎŽô³ßJø9$# ÇÊÉÎÈ  
“dan (aku telah diperintah): "Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan ikhlas dan janganlah kamu Termasuk orang-orang yang musyrik” QS. Yunus: 105.
Dalam sebuah Hadits Rasulullah SAW bersabda; “Ikhlaslah dalam menjalankan agamamu, pasti kamu mendapatkan balasan walau amal sekecil apapun.” Ketika beliau ditanya “Apa yang dimaksud iman ?”, Nabi menjawab:”Ialah ikhlas karena Allah,.” lalu sabdanya: ”Allah tidak akan menerima semua amal kecuali disertai keikhlasan kepada-Nya serta mengharap keridlaan-Nya semata.” HR. An-Nasai
Seorang sufi membersihkan amal perbuatannya daripada ‘ujub, riya’hubb al-dunyahasad, takabbur dan sebagainya dengan mengerjakan amal soleh semata-mata kerana Allah maka dia disebut sebagai seorang mukhlis (beramal dengan penuh keikhlasan) dan perbuatannya itu adalah ikhlas[1]
Jadi ikhlas merupakan sesuatu hal yang bersifat batiniyah dan teruji kemurniannya dengan amalan soleh. Ia merupakan perasaan halus yang tidak dapat diketahui oleh siapapun. Amal perbuatan adalah bentuk-bentuk lahiriyah yang boleh dilihat sedangkan roh amal perbuatan itu adalah rahsia yaitu keikhlasan.
v  Bentuk keikhlasan dalam Perbuatan/ Amalan
Keikhlasan, apabila ditinjau dalam bentuk realitas amalan, maka ia dapat dibahagi kepada tiga peringkat, yaitu:
a)      tidak melihat amalan sebagai amalan semata-mata yaitu tidak mencari balasan daripada amalan dan tidak puas terhadap amalan; malu terhadap amalan di samping sentiasa berusaha sekuat tenaga
b)      menjaga amalan dengan sentiasa dan tetap menjaga kesaksian serta memelihara cahaya taufiq yang dipancarkan.
c)      memurnikan amalan dengan melakukan amalan berasaskan ilmu serta tunduk kepada kehendak Allah
Keikhlasan bukanlah hal yang statik yang sekali wujud akan sentiasa bertahan selamanya di dalam diri manusia. Ia adalah suatu yang dinamis yang sentiasa menuntut kesungguhan pemeliharaan dan peningkatan.[2] Keikhlasan menjadi langkah bagi manusia untuk menumbuh kembangkan potensi sedia ada yang akan memberi kesan kepada amalan dan teruji dalam kualitas maupun kuantitas.

v  Ciri-Ciri orang yang Ikhlas ( Mukhlisin)
Suatu hari Mu’adz Bin Jabal RA meminta nasehat kepada Rasulullah SAW sewaktu dia akan diutus ke Yaman. Katanya; “Wahai Rasulullah SAW, berilah aku nasehat,” Rasul bersabda; “Ikhlaslah dalam agamamu, meskipun kerjamu sedikit.” HR. Al-Hakim
Nasehat Rasulullah SAW kepada Mu’adz ini mengandung pelajaran yang berharga , antara lain mengungkap tiga sifat dan sikap para Mukhlishin yaitu;[3]
a)      Selalu berbuat baik walaupun manusia membenci kebaikan yang dia perbuat. Sebagaimana diisyaratkan dalam firman-Nya: ”Maka sembahlah Allah dengan seikhlas-ikhlasnya beribadah kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya.” QS. 40: 14
b)      Mendasari setiap amal shalihnya dengan taqwa dan iman kepada Allah SWT.
c)       Sikapnya berbuat baik tidak ingin dilihat atau dipuji manusia, ia bersembunyi di balik amal shalihnya. Ya’kub AS pernah mengatakan:”Orang yang ikhlas ialah orang yang menyembunyikan kebajikannya sebagaimana ia menyembunyikan keburukan-keburukannya.”
Ibnu Alwy memberi batasan Mukhlis (orang ikhlas) yaitu apabila ia melakukan ataupun meninggalkan sesuatu perbuatan, baik dalam sunyi ataupun banyak orang tetap menyandarkan tujuannya hanya kepada Allah, tanpa mencampuradukkan dengan maksud lain, misalnya karena hawa nafsu atau keduniaan (harta, tahta, wanita). Dan jika dia berniat disamping Allah juga karena manusia, maka dia termasuk Raiy yaitu orang yang berbuat riya dan amalnya tidak akan diterima. Apabila dia beramal karena manusia semata, maka dia telah terjerumus ke dalam kebinasaan dan riyanya telah mencapai tingkat Munafiq.
D. Hal-hal yang Merusak Keikhlasan
Ada beberapa hal yang bisa merusak keikhlasan yaitu:
a)      Riya' ialah memperlihatkan suatu bentuk ibadah dengan tujuan dilihat manusia, lalu orang-orangpun memujinya.
b)      Sum'ah, yaitu beramal dengan tujuan untuk didengar oleh orang lain (mencari popularitas).
c)      'Ujub, masih termasuk kategori riya' hanya saja Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membedakan keduanya dengan mengatakan bahwa: "Riya' masuk didalam bab menyekutukan Allah dengaN makhluk, sedang ujub masuk dalam bab menyekutukan Allah dengan diri-sendiri Disamping itu ada bentuk detail dari perbuatan riya' yang sangat tersembunyi, atau di sebut dengan riya' khafiy.[4]


v  Cara Memelihara Keikhlasan
Sebagai upaya membina terwujudnya keikhlasan yang mantap dalam hati setiap mu’min, sudah selayaknya kita memperhatikan beberapa hal yang dapat memelihara ikhlas dari penyakit-penyakit hati yang selalu mengintai kita, di antaranya;[5]
a.       Dengan meyakini bahwa setiap amal yang kita perbuat, baik lahir maupun batin, sekecil apapun, selalu dilihat dan didengar Allah SWT dan kelak Dia memperlihatkan seluruh gerakan dan bisikan hati tanpa ada yang terlewatkan. Kemudian kita menerima balasan atas perbuatan-perbuatan tadi.
b.      Memahami makna dan hakikat ikhlas serta meluruskan niat dalam beribadah hanya kepada Allah dan mencari keridlaan-Nya semata, setelah yakin perbuatan kita sejalan dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Maka ketika niat kita menyimpang dari keikhlasan, kembalikanlah kepada keimanan dan ketaqwaan serta segeralah mensucikan diri dengan bertaubat dan meluruskan kembali niat baik tadi.
c.       Berusaha membersihkan hati dari sifat yang mengotorinya seperti riya, sum’ah, nifaq atau bentuk syirik lainnya sekecil apapun. Allah berfirman: ”Barang siapa yang berharap menemui Rabb-nya, hendaklah ia mengerjakan perbuatan baik dan janganlah mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabb-nya dengan sesuatu apapun.“ QS. 18: 110
d.      Memohon petunjuk kepada Allah agar menetapkan hati kita dalam ikhlas. Karena hanya Dia-lah yang berkuasa menurunkan hidayah dan menyelamatkan kita dari godaan syetan yang selalu menghembuskan kejahatan yang dapat membinasakan manusia. Tidak sedikit manusia yang terjerumus pada riya dan syirik yang tersembunyi, sebagaimana diperingatkan dalam Hadits Nabi SAW, sabdanya: ”Barangsiapa yang shalat dengan riya, sesungguhnya ia telah melakukan syirik, dan barang siapa yang shaum dengan riya, sesungguhnya ia telah melakukan syirik, dan demikian juga, barangsiapa yang bersedekah dengan riya sesungguhnya ia telah melakukan syirik.


BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Secara etimologis, kata ikhlas merupakan bentuk mashdar dari kata akhlasha yang berasal dari akar kata khalasha. Menurut Ma’luuf, kata khalasha ini mengandung beberapa macam arti sesuai dengan konteks kaliamatnya. Ia bisa berarti shafaa (jernih), najaa wa salima (selamat), washala (sampai), dan I’tazala (memisahkan diri). Maksudnya, didalam menjalankan amal ibadah apa saja, harus disertai dengan niat yang ikhlas tanpa pamrih apapun.
Tidaklah heran apabila kini belum belum banyak orang yang bisa bersikap ikhlas, padahal dia sudah seringkali berkata “Akan melakukan segala sesuatu dengan ikhlas”. mungkin dia sudah bisa bersikap ikhlas, tetapi rasa ikhlas itu tidak sepenuhnya terwujud. Namun, hal itu lebih baik daripada rasa ikhlas tersebut tidak ada sama sekali dalam diri seseorang. Ibaratnya, rasa ikhlas itu bisa secara perlahan-lahan ditambah dan terus dipupuk dalam dirinya. Sehingga, ketika melakukan segala sesuatu, dia bisa bersikap ikhlas secara penuh dan tidak setengah-setengah.
Orang yang mukmin seharusnya berusaha membersihkan amal perbuatannya seperti; ‘ujub, riya’hubb al-dunya, hasad, takabbur dan sebagainya dengan mengerjakan amal saleh semata-mata kerana Allah. bukan mengerjakan sesuatu untuk mendapatkan pujian manusia. Dan orang yang tidak ikhlas Itu dinamakan musyrik dan akan disiksa didalam neraka.



Daftar Pustaka

Khatib Quzwain. Mengenal Allah: Suatu Pengajian Mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh Abdul Samad Al-Palimbani.  Jakarta: Pustaka Bulan Bintang.
Madjid Nurcholish, (1992). Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Pustaka Paramadina.
Mansur. Laily. (2002). Ajaran  dan Teladan Para Sufi. Jakarta: RajaGrafindo Persada.


UIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA




[1]Khatib Quzwain, Mengenal Allah: Suatu Pengajian Mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh Abdul Samad Al-Palimbani. Jakarta: Pustaka Bulan Bintang. hlm. 94-95
[2] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Pustaka Paramadina. 1992. hlm 50
[3] Laily, Mansur, Ajaran  dan Teladan Para Sufi, Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2002.