Jumat, 14 Agustus 2015

makalah laporan wawancara pekerjaan sosial di lapangan


TUGAS LAPANGAN
LAPORAN WAWANCARA
Laporan ini Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Nilai dan Etika Pekerjaan Sosial





Oleh :
Imam Arifin:                        (14250029)

Dosen Pengampu: Ibu. Noorkamilah

PROGRAM STUDI ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA 2015




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pekerjaan sosial adalah profesi yang telah diakui sah secara hukum. Sebagaimana profesi lain pekerja sosial professional Sudah pasti terdapat seperangkat aturan yang diakui sah secara nasional maupun internasional. Karena itu seperangkat aturan dan norma yang mengikat pada profesi pekerjaan sosial disebut kode etik. Kode etik menjadi standar prilaku pekerjaan sosial dalam setiap keputusan etik yang menyangkut klien atau sistem-sistem yang berkaitan dengannya. Kode etik berisi petunjuk bagaimana membuat keputusan etik yang tepat dalam kondisi sulit. Kode etik juga memberikan prinsip-prinsip etik yang dapat dijadikan sebagai panduan memutuskan kasus dalam kondisi normal. Panduan ada yang bersifat umum ada juga yang bersifat khusus dan sangat detail.[1]
            Tulisan ini berisi paparan dari hasil wawancara di salah satu lembaga PDAK di Yogyakarta  yang akan kami jelaskan secara deskriptif mengenai sosialisasi kode etik, lembagi IPSPI dan bagaimana pemahaman kode etik oleh pekerja sosial yang ada di lapangan. Serta menjelaskan sejauh mana implementasi kode etik tersebut berjalan.


B.     Rumusan Masalah
§  Apa itu IPSPI?
§  Bagaimana realitas yang terjadi di dalam implementasi kode etik pekerjaan sosial?






BAB II
PEMBAHASAN

·         Pekerjaan Sosial
Hasil dari wawancara,kami menemui seorang peksos. Dia adalah Jarman (nama samaran). Dia sudah bekerja kurang lebih selama tiga tahun. Selama pengalamanya menjadi peksos, ia baru sertifikasi kemarin. Jarman adalah lulusan STKS. Pada awalnya ia menjadi case worker selama 2 tahun di PDAK (Pusat Dukungan Anak & Keluarga) di Bandung. Program ini merupakan kerjasama safety children Kemensos dengan Dinas sosial.
 Waktu di Bandung ia bekerjasama dengan dinas sosial provinsi Jawa barat. Dan pada tahun 2014 dia pindah ke Jogja di PDAK juga. Dan dia sekarang sudah menjabat supervisor.

·         IPSPI (Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia)
IPSPI adalah wadah bagi pekerja sosial untuk berkumpul, sharing pengalaman bekerja dll. Dia menuturkan bahwa IPSPI itu bukan lembaga yang membawahi atau menangani peksos secara langsung, namun lebih tepatnya sebagai wadah peksos untuk berkumpul, sebagaimana IDI (Ikatan Dokter Indonesia).
Di dalam IPSPI ada syarat-syarat ia bisa diterima menjadi anggota, yaitu orang yang telah menempuh pendidikan formal dari jurusan-jurusan yang telah diakui oleh IPSPI. Contohnya Sosiatri di UGM. Nah jika ada masyarakat yang tidak menempuh pendidikan formal dulu, lalu ingin menjadi peksos. Ia menyebutnya hanya sebagai relawan saja, bukan peksos.
 Jarman baru saja melakukan pendaftaran pekerja sosial di Jogja. Ketika ia melamar di lembaganya ia terlebih dahulu dites wawancara. Dan dia baru mendapat kartu angota IPSPI, dengan itu ia resmi menjadi anggota IPSPI dari tahun 2015-2020. Jadi dalam periode ini ia menjadi angota selama 5 tahun. Keangotaanya ini harus di update karena; ada masa berlakunya.
Jarman mengaku memperoleh keuntungan menjadi angota IPSPI. Karena merasa bahwa peksos itu diakui, masutnya diakui dalam arti sebagai profesi yang sah secara hukum. Setiap anggota IPSPI itu tidak selalu mendapat lisensi profesi pekerjaan sosial, jika ia mau mendaftar, ia terlebih dulu harus melampirkan cv, ijazah, dan praktik peksos selama beberapa tahun dan apa saja yang diperbuat. Jadi selama belum genap 3 tahun orang belum bisa. Namun ada pandangan lain, bahwa setelah lulus dari pendidikan formal kesos/peksos, seseorang langsung boleh daftar menjadi angota IPSPI.

·         Kode Etik
Peksos merupakan pekerjaan professional. Jadi semua tindakan dari peksos itu harus berlandaskan kode etik. Di dalam pdak sendiri juga ada kode etik. Karena di semua lembaga, dalam menjalankan pekerjaanya harus berpedoman kode etik. Misalnya nilai kerahasiaan klien, penerimaan dll. Nah di semua lembaga-lembaga yang berhubungan dengan pekerjaan sosial seperti anak, napza, pendidikan, itu pasti menerapkan kode etik yang sama.
Contoh dalam kdrt, awalnya kode etik itu disosialisasikan. Peksos pasti sudah paham mengenai kode etik, namun tugas lembaga itu selalu mengingatkan secara terus-menerus, dengan selalu mengevaluasi sejauh mana implemenasi kode etik tersebut berjalan.
Kode etik itu merupakan dasar pekerja sosial dalam bekerja dan menangani klien. Kode etik itu biasanya lebih melekat pada pekerja sosial daripada klien, nah missal dalam menangani kasus kekerasan anak yang mengalami trauma, maka peksos akan melakukan assesmen dulu, ia akan mengukur seberapa tingkat traumanya, apakah ringan atau berat. Nah jika sudah dalam ranah berat, maka peksos sudah tidak punya ranah kesitu, otomatis peksos harus berkerjasama dengan  profesi lain.
Meskipum peksos punya kemampuan mengassesmen psikologi anak, tapi yang punya ranah psikologinya tetap para psikolog. Jadi peksos itu bisa segalanya, namun harus tetap bekerjasama pada profesi lain,[2] begitu tuturnya.
Peksos dalam menerapkan prinsip self determination. Jarman menuturkan, kita berfungsi mengungkap suatu masalah, dan mendorong agar klien menemukan dari jawaban atas masalahnya sendiri, bukan atas dasar keinginan kita untuk mengubah klien, tp klien sendiri yang mengubahnya.
Kita membantu mendorong, mengali dan membuka wawasan dari masalah yang dialami klien, walaupun andai kata keputusan itu berat sekali, tetap keputusan ada di tangan klien dan kita hargai keputusanya itu. Ambil contoh ya, ada klien yang memutuskan menjadi gay/lesbian. Nah disini kita tidak punya ranah kesitu untuk merubahnya menjadi normal lagi.
Tugas wajib peksos itu memberikan pemahaman, menjelaskan jalan keluar. Artinya kita punya alternative jalan keluar, dengan cara memberikan berbagai jalan pilihan, missal kalau kamu mau menjadi normal, A. pilihanya seperti ini, B. akibatnya seperti ini. Peksos hanya boleh menjelaskan agar klien memahami akan dampak positif atau negative dari keputusanya. Namun keputusan dia harus kita hargai, dan keputusan klien untuk mengambil yang positif atau negative itulah yang merupakan self determination.
Dalam prinsip penerimaan, Peksos dalam menangani klien tidak boleh pilih-pilih, misalnya diri kita Islam kita tak boleh memilih orang yang Islam saja atau Islam yang cakep, namun kita harus menerima klien apa adanya.
Peksos itu harus ada diposisi sebagai orang netral. Missal kita mendampingi klien yang beragama Budha atau Kristiyani, nah kita hanya boleh memberikan pemahaman secara spiritual saja, dan secara luas bahwa Tuhan itu ada, kalau kita mendoktrin dengan ajaran Islam dalam pekerjaan ini, maka itulah yang tidak diperbolehkan.

·         Delima Etik
Delima etik adalan saat dimana peksos dihadapkan dengan 2 pilihan yang sangan sulit untuk diambil. Alhamdulillah, Jarman mncontohkan sebuah kasus; ada anak yang hamil usia 17 tahun, ia meminta untuk dicarikan tempat perlindungan aman baginya. ia ingin peksos tidak memberitahukan kehamilanya kepada keluarganya. Kalau sampai peksos melanggar janjinya ia akan bunuh diri. Nah delima etik terjadi disini. Jika peksos memberitahukan ke keluarganya, maka peksos melangar kerahasiaan, namun jika ia tidak memberitahukan ke keluarga ia akan bunuh diri.
            Maka peksos wajib berpegang pada prinsip “keselamatan hidup” walaupun bersingungan dengan prinsip kerahasiaan namun keselamatan harus di utamakan. Nah langkah pertama adalah memberitahukan kepada keluarga di samping itu ia juga harus memberikan pemahaman kepada klien, dan bisa meyakinkanya. Namun jika pihak keluarga justru marah-marah, maka peksos akan melindungi klien, karna keselamatan klien itu diatas segalanya. Karna itu dalam menghadapi keluarga ada tahapan-tahapanya, dan tahapan itu akan di jelaskan dalam materi peksos medis di semester berikutnya, tuturnya.

·         Malpraktik
Pengalaman Jarman dalam malpraktik, ketika ia menangani klien di panti. Ia secara pribadi meyakini dan mengupayakan bagaimana caranya agar anak ini bisa kembali ke keluarga dengan bahagia. Namun ia tidak tau bahwa masalah ekonomi keluarganya yang tidak mampu itu membuat anak ini ke panti. Nah disini ia telah melakukan malpraktik, seharusnya ia tidak memaksakan keinginanya untuk mengembalikan anak tersebut ke keluarganya.
            Dalam kasus ini sangsinya dimusyawarahkan, dan ia diperingatkan bahwa, perbuatanya itu salah. Biasanya pemberi sangsi itu adalah lembaga, tapi supervisor juga bisa memberikan  peneguran pada peksos yang melakukan malpraktik itu.
            Dia juga mencontohkan peksos dulu yang pernah melakukan malpraktik, dia pernah tidur (nginap) dalam rumah klien, walaupun tidak satu lantai, itu tetap malpraktik. Sebisa mungkin,  walaupun kita sedekat apapun dengan klien, maka kita harus bisa menjaga jarak. Nah jika tidak ada koordinasi, maka ia akan mendapatkan sangsi langsung yaitu dikeluarkan. Namu jika ada alasan tertentu, misal dalam kondisi darurat, dan itu telah ada izin dari supervisornya, maka itu boleh-boleh saja.
            Jarman juga menjelaskan mengenai relasi ganda, ia mengangapnya sebagai pelangaran yang berat, dan itu biasanya terjadi oleh peksos yang menangani para penguna napza. Karna klien napza itu biasanya orangnya anti sosial. Nah ketika ada orang yang menawarkan dirinya untuk membantunya, maka otomatis kan ada ketertarikan dari si klien. Jadi peksos bisa saja tergoda dengan si klien. Nah sangsi bagi peksos ia akan dikeluarkan dari lembaga dia bekerja.

·         Teori Deontology dan Teleologi
Teori etika deontology adalah kebenaran itu dilihat dari kewajibanya,sedangkan teori etika teleology itu ukuran kebenaran dilihat dari tujuan dan akibatnya. Saya coba jelaskan kembali karena dia sempat lupa. Dalam praktiknya pengunaan toeri itu sifatnya situasional. Ada klien yang harus ditangani secara deontology dan ada yang harus ditangani dengan teleology. Semua itu tergantung faktor penyebabnya.

·         Pendapat Peksos Tentang Ham
Ham sebenarnya adalah salah satu dasar bagi peksos, contoh Ham salah satunya adalah hak untuk memilih tinggal bersama orang tua atau hak untuk memilih agama. Nah dasarnya prilaku peksos itu adalah ham. Klienya itu diberikan kebebasan untuk memilih agamanya, Islam ataukah Kristen.Tanpa kita pengaruhi dia untuk memilih Islam. Jadi itu dasarnya adalah ham.





BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Kode etik adalah standar prilaku pekerja sosial dalam setiap mengambil keputusan etik yang berhubungan dengan klien. Kode etik tidaklah tepat, jika digunakan dalam semua situasi dan kondisi di dalam praktik pekerjaan sosial. Karena itu terjadinya delima etik tak dapat dipungkiri oleh pekerja sosial profesional.
 Eksplorasi nilai dan etika di dalam sebuah profesi pekerja sosial, tentunya menjadi prinsip yang sangat fundamental dalam melakukan segala tindakan yang ditujukan kepada klien. Namun  dalam praktek pekerjaan sosial, kode etik bukanlah suatu aturan yang harus diyakini dan dilaksanakan secara mutlak. Karena itu pekerja sosial dalam mengambil keputusan perlu memperhatikan prinsip-prinsip dan panduan di dalam setiap mengambil keputusan etik, agar kode etik pekerja sosial berjalan selaras dengan nilai-nilai dan etika hukum.



Daftar Pustaka

Miftachul Huda. 2009. Pekerjaan Sosial & kesejahteraan Sosial Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


[1]Miftachul Huda, Pekerjaan Sosial & kesejahteraan Sosial sebuah pengantar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009. Hlm. 168.

[2] Satu pernyataan yang bijaksana buat peksos, dan bisa membuat saya berpikir kembali sekaligus merenungkan makna falsafah profesi pekerjaan social. Yaitu sebuah kata: “PEKSOS YANG HANDAL ITU BUKAN DIA YANG BISA SEGALANYA, TAPI DIA YANG BISA MERUJUK KE PROFESI LAIN”.