TUGAS
LAPANGAN
LAPORAN
WAWANCARA
Laporan ini
Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Nilai dan Etika Pekerjaan Sosial
Oleh :
Imam Arifin: (14250029)
Dosen Pengampu: Ibu. Noorkamilah
PROGRAM
STUDI ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
FAKULTAS
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pekerjaan sosial adalah profesi yang telah diakui sah secara hukum. Sebagaimana
profesi lain pekerja sosial professional Sudah pasti terdapat seperangkat
aturan yang diakui sah secara nasional maupun internasional. Karena itu
seperangkat aturan dan norma yang mengikat pada profesi pekerjaan sosial
disebut kode etik. Kode etik menjadi standar prilaku pekerjaan sosial dalam
setiap keputusan etik yang menyangkut klien atau sistem-sistem yang berkaitan
dengannya. Kode etik berisi petunjuk bagaimana membuat keputusan etik yang
tepat dalam kondisi sulit. Kode etik juga memberikan prinsip-prinsip etik yang
dapat dijadikan sebagai panduan memutuskan kasus dalam kondisi normal. Panduan
ada yang bersifat umum ada juga yang bersifat khusus dan sangat detail.[1]
Tulisan ini berisi paparan dari
hasil wawancara di salah satu lembaga PDAK di Yogyakarta yang akan kami jelaskan secara deskriptif
mengenai sosialisasi kode etik, lembagi IPSPI dan bagaimana pemahaman kode etik
oleh pekerja sosial yang ada di lapangan. Serta menjelaskan sejauh mana
implementasi kode etik tersebut berjalan.
B. Rumusan Masalah
§ Apa itu IPSPI?
§ Bagaimana realitas yang terjadi di dalam implementasi kode etik pekerjaan
sosial?
BAB II
PEMBAHASAN
·
Pekerjaan
Sosial
Hasil dari wawancara,kami
menemui seorang peksos. Dia adalah Jarman (nama samaran). Dia sudah bekerja kurang
lebih selama tiga tahun. Selama pengalamanya menjadi peksos, ia baru
sertifikasi kemarin. Jarman adalah lulusan STKS. Pada awalnya ia menjadi case
worker selama 2 tahun di PDAK (Pusat Dukungan Anak & Keluarga) di Bandung.
Program ini merupakan kerjasama safety children Kemensos dengan Dinas sosial.
Waktu di Bandung ia bekerjasama dengan dinas
sosial provinsi Jawa barat. Dan pada tahun 2014 dia pindah ke Jogja di PDAK
juga. Dan dia sekarang sudah menjabat supervisor.
·
IPSPI (Ikatan
Pekerja Sosial Profesional Indonesia)
IPSPI adalah wadah
bagi pekerja sosial untuk berkumpul, sharing pengalaman bekerja dll. Dia
menuturkan bahwa IPSPI itu bukan lembaga yang membawahi atau menangani peksos
secara langsung, namun lebih tepatnya sebagai wadah peksos untuk berkumpul,
sebagaimana IDI (Ikatan Dokter Indonesia).
Di dalam IPSPI ada
syarat-syarat ia bisa diterima menjadi anggota, yaitu orang yang telah menempuh
pendidikan formal dari jurusan-jurusan yang telah diakui oleh IPSPI. Contohnya Sosiatri
di UGM. Nah jika ada masyarakat yang tidak menempuh pendidikan formal dulu,
lalu ingin menjadi peksos. Ia menyebutnya hanya sebagai relawan saja, bukan
peksos.
Jarman baru saja melakukan pendaftaran pekerja
sosial di Jogja. Ketika ia melamar di lembaganya ia terlebih dahulu dites
wawancara. Dan dia baru mendapat kartu angota IPSPI, dengan itu ia resmi menjadi
anggota IPSPI dari tahun 2015-2020. Jadi dalam periode ini ia menjadi angota
selama 5 tahun. Keangotaanya ini harus di update karena; ada masa
berlakunya.
Jarman mengaku
memperoleh keuntungan menjadi angota IPSPI. Karena merasa bahwa peksos itu
diakui, masutnya diakui dalam arti sebagai profesi yang sah secara hukum. Setiap
anggota IPSPI itu tidak selalu mendapat lisensi profesi pekerjaan sosial, jika
ia mau mendaftar, ia terlebih dulu harus melampirkan cv, ijazah, dan praktik
peksos selama beberapa tahun dan apa saja yang diperbuat. Jadi selama belum
genap 3 tahun orang belum bisa. Namun ada pandangan lain, bahwa setelah lulus
dari pendidikan formal kesos/peksos, seseorang langsung boleh daftar menjadi
angota IPSPI.
·
Kode Etik
Peksos merupakan
pekerjaan professional. Jadi semua tindakan dari peksos itu harus berlandaskan
kode etik. Di dalam pdak sendiri
juga ada kode etik. Karena di semua lembaga, dalam menjalankan pekerjaanya
harus berpedoman kode etik. Misalnya nilai kerahasiaan klien, penerimaan dll. Nah
di semua lembaga-lembaga yang berhubungan dengan pekerjaan sosial seperti anak,
napza, pendidikan, itu pasti menerapkan kode etik yang sama.
Contoh dalam kdrt, awalnya kode etik itu
disosialisasikan. Peksos pasti sudah paham mengenai kode etik, namun tugas
lembaga itu selalu mengingatkan secara terus-menerus, dengan selalu
mengevaluasi sejauh mana implemenasi kode etik tersebut berjalan.
Kode etik itu
merupakan dasar pekerja sosial dalam bekerja dan menangani klien. Kode etik itu
biasanya lebih melekat pada pekerja sosial daripada klien, nah missal dalam
menangani kasus kekerasan anak yang mengalami trauma, maka peksos akan
melakukan assesmen dulu, ia akan mengukur seberapa tingkat traumanya, apakah
ringan atau berat. Nah jika sudah dalam ranah berat, maka peksos sudah tidak
punya ranah kesitu, otomatis peksos harus berkerjasama dengan profesi lain.
Meskipum peksos punya
kemampuan mengassesmen psikologi anak, tapi yang punya ranah psikologinya tetap
para psikolog. Jadi peksos itu bisa segalanya, namun harus tetap bekerjasama
pada profesi lain,[2] begitu tuturnya.
Peksos
dalam menerapkan prinsip self determination.
Jarman menuturkan, kita berfungsi
mengungkap suatu masalah, dan mendorong agar klien menemukan dari jawaban atas
masalahnya sendiri, bukan atas dasar keinginan kita untuk mengubah klien, tp
klien sendiri yang mengubahnya.
Kita membantu mendorong, mengali dan membuka
wawasan dari masalah yang dialami klien, walaupun andai kata keputusan itu
berat sekali, tetap keputusan ada di tangan klien dan kita hargai keputusanya itu.
Ambil contoh ya, ada klien yang memutuskan menjadi gay/lesbian. Nah disini kita
tidak punya ranah kesitu untuk merubahnya menjadi normal lagi.
Tugas wajib peksos itu memberikan pemahaman,
menjelaskan jalan keluar. Artinya kita punya alternative jalan keluar, dengan cara
memberikan berbagai jalan pilihan, missal kalau kamu mau menjadi normal, A.
pilihanya seperti ini, B. akibatnya seperti ini. Peksos hanya boleh menjelaskan
agar klien memahami akan dampak positif atau negative dari keputusanya. Namun
keputusan dia harus kita hargai, dan keputusan klien untuk mengambil yang positif
atau negative itulah yang merupakan self determination.
Dalam prinsip penerimaan, Peksos dalam menangani
klien tidak boleh pilih-pilih, misalnya diri kita Islam kita tak boleh memilih
orang yang Islam saja atau Islam yang cakep, namun kita harus menerima klien
apa adanya.
Peksos itu harus ada diposisi sebagai orang netral.
Missal kita mendampingi klien yang beragama Budha atau Kristiyani, nah kita
hanya boleh memberikan pemahaman secara spiritual saja, dan secara luas bahwa Tuhan
itu ada, kalau kita mendoktrin dengan ajaran Islam dalam pekerjaan ini, maka
itulah yang tidak diperbolehkan.
·
Delima Etik
Delima etik adalan
saat dimana peksos dihadapkan dengan 2 pilihan yang sangan sulit untuk diambil.
Alhamdulillah, Jarman mncontohkan sebuah kasus; ada anak yang hamil usia 17
tahun, ia meminta untuk dicarikan tempat perlindungan aman baginya. ia ingin
peksos tidak memberitahukan kehamilanya kepada keluarganya. Kalau sampai peksos
melanggar janjinya ia akan bunuh diri. Nah delima etik terjadi disini. Jika
peksos memberitahukan ke keluarganya, maka peksos melangar kerahasiaan, namun
jika ia tidak memberitahukan ke keluarga ia akan bunuh diri.
Maka peksos wajib berpegang pada prinsip
“keselamatan hidup” walaupun bersingungan dengan prinsip kerahasiaan namun
keselamatan harus di utamakan. Nah langkah pertama adalah memberitahukan kepada
keluarga di samping itu ia juga harus memberikan pemahaman kepada klien, dan
bisa meyakinkanya. Namun jika pihak keluarga justru marah-marah, maka peksos
akan melindungi klien, karna keselamatan klien itu diatas segalanya. Karna itu dalam
menghadapi keluarga ada tahapan-tahapanya, dan tahapan itu akan di jelaskan
dalam materi peksos medis di semester berikutnya, tuturnya.
·
Malpraktik
Pengalaman Jarman
dalam malpraktik, ketika ia menangani klien di panti. Ia secara pribadi
meyakini dan mengupayakan bagaimana caranya agar anak ini bisa kembali ke
keluarga dengan bahagia. Namun ia tidak tau bahwa masalah ekonomi keluarganya
yang tidak mampu itu membuat anak ini ke panti. Nah disini ia telah melakukan
malpraktik, seharusnya ia tidak memaksakan keinginanya untuk mengembalikan anak
tersebut ke keluarganya.
Dalam kasus ini sangsinya dimusyawarahkan,
dan ia diperingatkan bahwa, perbuatanya itu salah. Biasanya pemberi sangsi itu
adalah lembaga, tapi supervisor juga bisa memberikan peneguran pada peksos yang melakukan
malpraktik itu.
Dia juga mencontohkan peksos dulu yang
pernah melakukan malpraktik, dia pernah tidur (nginap) dalam rumah klien,
walaupun tidak satu lantai, itu tetap malpraktik. Sebisa mungkin, walaupun kita sedekat apapun dengan klien,
maka kita harus bisa menjaga jarak. Nah jika tidak ada koordinasi, maka ia akan
mendapatkan sangsi langsung yaitu dikeluarkan. Namu jika ada alasan tertentu,
misal dalam kondisi darurat, dan itu telah ada izin dari supervisornya, maka
itu boleh-boleh saja.
Jarman juga menjelaskan mengenai relasi
ganda, ia mengangapnya sebagai pelangaran yang berat, dan itu biasanya terjadi oleh
peksos yang menangani para penguna napza. Karna klien napza itu biasanya orangnya
anti sosial. Nah ketika ada orang yang menawarkan dirinya untuk membantunya,
maka otomatis kan ada ketertarikan dari si klien. Jadi peksos bisa saja tergoda
dengan si klien. Nah sangsi bagi peksos ia akan dikeluarkan dari lembaga dia
bekerja.
·
Teori
Deontology dan Teleologi
Teori etika deontology adalah kebenaran itu dilihat dari kewajibanya,sedangkan teori etika
teleology itu ukuran kebenaran dilihat dari tujuan dan akibatnya. Saya coba jelaskan kembali karena dia sempat lupa. Dalam praktiknya pengunaan
toeri itu sifatnya situasional. Ada klien yang harus ditangani
secara deontology dan ada yang harus ditangani dengan teleology. Semua itu
tergantung faktor penyebabnya.
·
Pendapat Peksos Tentang Ham
Ham sebenarnya adalah salah satu dasar bagi
peksos, contoh Ham salah satunya adalah hak untuk memilih tinggal bersama orang
tua atau hak untuk memilih agama. Nah dasarnya prilaku peksos itu adalah ham. Klienya
itu diberikan kebebasan untuk memilih agamanya, Islam ataukah Kristen.Tanpa
kita pengaruhi dia untuk memilih Islam. Jadi itu dasarnya adalah ham.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kode etik adalah standar prilaku pekerja sosial dalam setiap mengambil keputusan
etik yang berhubungan dengan klien. Kode etik tidaklah tepat, jika digunakan
dalam semua situasi dan kondisi di dalam praktik pekerjaan sosial. Karena itu terjadinya
delima etik tak dapat dipungkiri oleh pekerja sosial profesional.
Eksplorasi
nilai dan etika di dalam sebuah profesi pekerja sosial, tentunya menjadi
prinsip yang sangat fundamental dalam melakukan segala tindakan yang ditujukan
kepada klien. Namun dalam praktek
pekerjaan sosial, kode etik bukanlah
suatu aturan yang harus diyakini dan dilaksanakan secara mutlak. Karena itu pekerja
sosial dalam mengambil keputusan perlu memperhatikan prinsip-prinsip dan
panduan di dalam setiap mengambil keputusan etik, agar kode etik pekerja sosial
berjalan selaras dengan nilai-nilai dan etika hukum.
Daftar Pustaka
Miftachul Huda. 2009. Pekerjaan Sosial & kesejahteraan
Sosial Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[1]Miftachul Huda, Pekerjaan Sosial & kesejahteraan Sosial
sebuah pengantar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009. Hlm. 168.
[2]
Satu pernyataan yang bijaksana buat peksos, dan bisa membuat saya berpikir
kembali sekaligus merenungkan makna falsafah profesi pekerjaan social. Yaitu
sebuah kata: “PEKSOS YANG HANDAL ITU BUKAN DIA YANG BISA SEGALANYA, TAPI DIA
YANG BISA MERUJUK KE PROFESI LAIN”.