Jumat, 16 Oktober 2015

fenomena gerakan mahasiswa saat ini



Oleh Januardi Husin
Beberapa waktu lau saya berbincang sejenak di warung kopi Belandongan dengan Yusri Masud, ketua pusat Front Perjuangan Pemuda Indonesia. Di tengah basa basi, intinya kami membicarakan soal perjuangan untuk mengawal pemerintah dalam rangka mengusung keadilan dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Dia berbicara banyak hal tentang pergerakan massa di Indonesia, yang intinya ada optimisme terhadap kesuksesan perjuangan yang dilakukan. Misalnya yang baru-baru ini tentang menggugat dasar hukum industrialisasi dan eksploitasi sumber air di Indonesia.Begitu pula dengan gerakan-gerakan lainnya seperti gerakan buruh, gerakan tani, gerakan nelayan, mulai tampak progres nyata yang itu mengarah pada optimisme.
Mendengar itu, saya jadi terenyuh dan semangat sekali. Hingga pada akhirnya saya bertanya (entah kenapa tiba-tiba saja) tentang gerakan mahasiswa. Mendengar pertanyaan saya, Yusri sejenak diam dan berkata, “Nah sebenarnya saya mau menggalakkan kembali gerakan mahasiswa.”
Nah, ini. Jawaban itu menarik perhatian saya. Ada kata “sebenarnya”. Nadanya seperti optimis sekaligus pesimis. Lalu timbul pertanyaan di benak saya (kali ini tidak tiba-tiba). Ada apa dengan gerakan mahasiswa saat ini sehingga timbul kata “sebenarnya” dari jawaban Yusri? Saya pun tertarik untuk membicarakannya lebih jauh.
Menurut Yusri gerakan mahasiswa saat ini tidak mampu untuk menghasilkan kebijakan apa-apa yang itu berimplikasi nyata bagi rakyat. Gerakan mahasiswa seolah kehilangan orientasi tentang apa yang seharusnya mereka kawal. Kalaupun ada, gerakan mahasiswa tidak mampu menelurkan nilai tawar untuk dijadikan tarik ulur kepentingan dengan pemerintah selaku pemangku kebijakan. Hal ini menyebabkan gerakan mahasiswa saat ini menjadi “generasi penolak”. Semua ditolak. Harga BBM naik, ditolak. Presiden datang, ditolak. Menteri datang, ditolak. Sistem UKT (uang kuliah tunggal), ditolak. Saat itu saya sempat beranekdot, jangan-jangan kalau Tuhan datang pun akan ditolak, hahaha.
“Gerakan buruh misalnya, BBM naik, mereka minta UMR (upah minimum regional) juga naik,” kata Yusri.
Seorang kawan di sebelah saya mengungkapkan sesuatu yang menurut saya agak sensitif,
“Saya kok melihatnya gerakan mahasiswa sekarang cenderung ditumpangi kepentingan politik,” kata dia, yang tidak ingin saya sebutkan namanya.
Maksudnya mungkin kepentingan politik praktis. Dengan kata lain, aksi gerakan mahasiswa saat ini cenderung untuk golongan politik praktis tertentu yang itu pada akhirnya menguntungkan gerakan mahasiswa itu semata.
Tanggapan Yusri kali ini cukup menarik,
“Saya tidak ada urusan dengan motif atau kepentingan gerakan yang melakukan sebuah aksi apabila itu menguntungkan mereka. Sama saja dengan gerakan-gerakan lainnya di luar mahasiswa seperti LSM atau politisi. Tapi masalahnya, kalau untuk mendapat kepentingan (yang menguntungkan tersebut), mereka itu ‘nginjak’ orang lain,” kata dia menggebu-gebu sekali.
Lebih lanjut, Yusri berpendapat, persoalan keuntungan pribadi-misalnya keuntungan materil- memang menjadi masalah gerakan di Indonesia. Untuk berjuang demi rakyat, setiap orang membutuhkan materil agar bertahan hidup. Tidak ada yang bisa berjuang tanpa bertahan hidup itu sendiri. Oleh sebab itu, gerakan di Indonesia seolah tersekat menjadi dua saja. Kalau tidak LSM ya politisi. Namun kedua gerakan itu mulai tampak jenuh. Sehingga gerakan-gerakan lainnya tengah mencari wajah baru selain dua jenis gerakan tersebut.
“Di beberapa negara, pekerja sosial itu dibayar. Mengkritik itu dibayar. Di negara kita, pekerja sosial itu kebingungan. Makanya, cepatlah lulus biar mengalami sendiri (kenyataan gerakan di luar mahasiswa). Karena apapun yang kita pilih nantinya, itu sikap politik kita,” tambah Yusri, membuat saya kembali tak semangat dan malah takut untuk cepat-cepat lulus.
Tapi pada taraf ini saya mencoba untuk mengerti tentang reaksi Yusri ketika ditanya perihal gerakan mahasiswa di awal perbincangan. Menurut saya, Yusri berharap banyak terhadap gerakan mahasiswa. Ada peran penting yang itu bisa dan hanya bisa diambil alih oleh gerakan mahasiswa. Bukan oleh gerakan-gerakan lainnya di luar mahasiswa. Dalam hal ini saya pun sepakat jika memang begitu adanya. Jika ada yang berpendapat bahwa label agent of change pada diri mahasiswa itu hanya mitos belaka, bagi saya biarkanlah mitos itu tetap ada sebagai sebuah harapan. Karena harapan akan selamanya bersifat utopis, maka mari kita menitikberatkan pada proses untuk mencapai sebuah harapan itu. Dengan proses yang benar, harapan yang utopis itu akan menjadi bermakna dan menghasilkan solusi-solusi yang konkret.
Hal yang harus dilakukan pertama kali adalah menentukan atau memperjelas wajah gerakan mahasiswa itu sendiri. Gerakan mahasiswa itu sesungguhnya gerakan yang seperti apa sih? Apakah gerakan berbasis massa atau gerakan berbasis akademik/keilmuan/wacana? Idealnya memang gerakan berbasis massa dan akademik secara langsung. Tapi kok ya yang terlihat oleh saya selama ini, gerakan mahasiswa adalah gerakan berbasis massa semata.
Dalam aksinya, gerakan mahasiswa cenderung menonjolkan kekuatan massa ketimbang kekuatan berpikir, melobi-lobi kepentingan, atau beradu konsep. Tidak usah jauh-jauh, kita tentu masih ingat bagaimana kegagalan gerakan mahasiswa mempertahankan konversi IAIN untuk menjadi UIN pada saat kepemimpinan Amin Abdullah. Yang selalu terbayang adalah gerakan mahasiswa saat menggulingkan orde baru. Tapi harus diingat, gerakan mahasiswa berbasis massa kala itu juga di dukung oleh gerakan-gerakan lainnya, termasuk gerakan berbasis akademik dari mahasiswa itu sendiri dan pemikir-pemikir yang ada.
Aksi-aksi gerakan mahasiswa yang menonjol saat ini adalah anarkisme untuk menandingi represifitas negara. Blokir jalan, pecah kaca, bakar ban, dan sebagainya. Maka, jadilah gerakan mahasiswa memiliki label negatif di mata masyarakat yang awalnya ingin dibela, bahkan dibenci oleh sebagian mahasiswa yang apatis. Saya sungguh tidak ingin membela golongan yang membenci aksi gerakan mahasiswa. Dalam hati saya bahkan mengutuk, terlebih lagi jika itu mahasiswa, kok ya ada mahasiswa yang mapan dan menikmati kemapanan mereka, sementara telah nyata ketertindasan rakyat oleh rezim dan sistem yang ada saat ini.
Namun sangat penting bagi sebuah gerakan untuk memiliki basis secara akademik (wacana). Louis Althusser toh terang-terangan mengatakan, sebuah kekuasaan tidak dibangun hanya dengan kekuatan represifitas, namun juga menggunakan aparatus ideologis, termasuk di dalamnya ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, untuk membuat sebuah perubahan, diperlukan kemampuan akademik yang memadai dalam rangka memberikan solusi-solusi konkret dan daya tawar guna kepentingan tarik ulur kebijakan. Di samping menyiapkan rencana-rencana gerakan mahasiswa berbasis massa, perlu juga disiapkan rencana-rencana strategis berbasis akademik. Sehingga apabila suatu saat harus duduk sejajar dengan para pemangku kebijakan, gerakan mehasiswa memiliki visi yang jelas, solutif, dan bisa dipertanggungjawabkan. Gerakan mahasiswa harus siap jika harus beradu konsep, beradu wacana, beradu data, dan beradu solusi dengan pembuat kebijakan.
Gerakan mahasiswa mungkin saja bisa berdalih dengan lagu lama, bahwa jika tidak melakukan tindakan-tindakan anarkis, maka suara tuntutan gerakan mahasiswa tidak akan didengar. Sehingga tindakan anarkis menjadi agenda wajib dalam setiap aksinya. Tapi hati-hati dengan jawaban ini. Karena jika demikian, gerakan mahasiswa telah menjadikan anarkisme sebagai tujuan akhir dari setiap aksi yang dilakukan. Siapakah yang menyukai anarkisme? Tidak ada yang menyukai anarkisme, bahkan tidak si perlaku anarkisme itu sendiri.
Hal selanjutnya yang harus dilakukan adalah menentukan batas-batas wilayah gerakan mahasiswa saat ini. Gerakan mahasiswa itu sesungguhnya bergerak di bidang apa sih? Ada gerakan buruh, ada gerakan tani, ada gerakan buruh migran, ada gerakan kesetaraan gender. Begitu juga ada LSM lingkungan, ada LSM Hak Asasi Manusia, ada LSM anti korupsi, dan sebagainya. Lah gerakan mahasiswa itu dimana? Mau mem-back up semuanya? Ingin mengawal isu-isu kerakyatan? Rakyat yang mana bung? Kenyataannya, kepentingan rakyat saat ini telah terbelah-belah.
Saya rasa gerakan mahasiswa perlu memfokuskan diri di satu wilayah advokasi yang jelas. Ini bukan berarti membuat gerakan mahasiswa mengabaikan wilayah advokasi yang lainnya. Tapi untuk mencapai keberhasilan, sebuah gerakan itu harus fokus. Atau gerakan mahasiswa memang harus membagi diri di wilayah-wilayah advokasi tertentu. Namun dalam praktiknya, ketika melakukan aksi, gerakan mahasiswa harus membantu satu sama lain. Namun yang terlihat sekarang, gerakan mahasiswa seperti terbawa arus isu nasional
Misalnya, gerakan mahasiswa bisa memfokuskan diri di isu pendidikan. Itu isu penting bung. Bayangkan, saat ini hampir tidak ada kebijakan-kebijakan dari pemerintah pusat yang bisa digugat/dibatalkan oleh gerakan mahasiswa. Seperti kebijakan UKT dan batas kuliah lima tahun untuk perguruan tinggi. Yang terjadi saat ini adalah aksi-aksi spontan menyambut terbitnya kebijakan tersebut. Aksi-aksi spontan ini pun urung diseriusi dan gerakan mahasiswa kembali lagi tidak memiliki nilai tawar untuk menggugat.
Saya selalu yakin gerakan mahasiswa dapat menjadi gerakan yang berbeda. Menjadi sebuah gerakan yang memiliki nilai tawar nyata untuk kepentingan rakyat. Karena ada dua modal penting yang dimiliki oleh mahasiswa, yaitu idealisme dan akses. Di manakah idealisme seseorang dapat tumbuh subur, kecuali pada saat dia menjadi seorang mahasiswa. Mahasiswa juga memiliki akses untuk memiliki basis massa dan basis akademik. Setiap tahunnya jutaan anak muda menjadi mahasiswa di indonesia. Akses buku, jurnal penelitian, pemikiran, dapat dilakukan dengan bebas keluar masuk perpustakaan.
Itu pendapat saya tentang potensi gerakan mahasiswa. Mungkin Yusri punya pendapat lain. Ah, kapan-kapan kita ngopi lagi bung. Sembari menunggu bung-bung yang lainnya berpendapat.[]
sumber......
http://lpmarena.com/2015/07/10/gerakan-mahasiswa-optimis-atau-pesimis/