Sudah lima belas jam saya menunggu Gus Mus di
kediamannya di Leteh, Rembang, Jawa Tengah. Datang pukul tiga dinihari, saya
disambut seorang santri Pesantren Raudlatut Thalibin dan dibikinkan secangkir
kopi tubruk. Tak lama setelah salat Subuh berjamaah, saya minta izin meluruskan
punggung. Pagi setelah bangun tidur sejenak, saya kembali ke ruang tamu. Sudah
ada Gus Wahyu Salvana, suami putri Gus Mus: Ning Raabiatul Bisyriyah Sybt.
Secangkir kopi yang masih mengepul uap sudah terhidang. Saya,
yang kali ini sowan kepada Gus Mus, Plt Rais Aam Syuriah
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang bernama lengkap KH A. Mustafa Bisri, tanpa
bikin janji memang harus mengambil risiko: menunggu. Saya tahu Gus Mus sedang
di Bekasi, tapi saya tetap saja berangkat dari Jakarta ke Semarang, lalu lanjut
ke Rembang setelah ziarah ke makam Sunan Kudus — kemudian ke Tuban.
Dalam berniat, saya memiliki pilihan: menetapi niat atau
membatalkan niat. Saya mengajukan pilihan itu kepada Agus
“Picus” Affianto, dosen Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
yang menemani saya dari Semarang. “Saya pilih menetapi niat, Gus,” serunya.
Picus dan seorang santri saya dari Pekalongan memang terlihat letih menunggu,
namun kami mengisi jam demi jam dengan mengobrol. Ba’da Maghrib, Gus Mus
akhirnya rawuh.
,Saya tidak yakin, dan memang tidak terlalu berharap lagi, Gus
Mus akan menemui kami. Bersalaman dengan Beliau yang baru turun dari mobil saja
sudah sangat melegakan, tak perlu lagi saya berharap lebih. Apalagi, Beliau
pasti sangat capek setelah serangkaian perjalanan panjang. “Orang-orang itu
salah menilai saya. Dikiranya saya ini makin lama makin muda. Makin tua kok
malah makin sibuk karena semakin banyak undangan,” kata Gus Mus.
Seluruh rambutnya
sudah berwarna perak. Berpakaian dan bersarung putih, pun kopiah putih dan surban sewarna yang diselempangkan ke leher, Gus
Mus gagah dan sangat berwibawa. Suara Beliau yang parau dan berat makin
menciutkan nyali saya untuk memohon waktu bertemu. Namun, tak disangka, Gus Mus
masih berkenan duduk di antara kami. Satu pertanyaan Gus Mus kepada saya, ”Lha
mana kopinya? Sudah ngopi apa belum?”
Belum lagi saya menjawab, Gus Mus sudah menyahut, ”Sufi iku kudu
ngopi!” Sejurus kemudian, Beliau memanggil seorang santri dan meminta
dibikinkan kopi. Secangkir kecil kopi menemani kami bercengkerama beberapa
saat. Meski sudah tidak merokok, Gus Mus membiarkan saya menghisap batang
tembakau. Ucapan Beliau bahwa Sufi itu harus ngopi segera mengingatkan saya
pada sosok Khalid, penggembala kambing di Kaffa, Abyssinia, abad 9 M.
Kini, Abbyssinia bernama Ethiopia. Waktu itu, kambing yang
digembalakan Khalid sontak berlari-lari kencang seperti kelebihan tenaga
setelah ia mengunyah beberapa lembar daun dan serumpun buah kemerahan yang
mirip buah cherry. Di kemudian hari, Khalid menjadi tahu bahwa ternyata itu
daun dan biji kopi. Biji-biji kopi ditumbuk dan direbus dengan air, jadilah
minuman. Menghangatkan tubuh, menambah energi, pun membuat mata kuat melek.
Berkat jasa seekor kambing gembalaan, kaum Sufi pun menemukan kopi
yang menemani mereka untuk tetap terjaga sepanjang malam dalam zikir dan pikir.
Qiyamu ‘l-Lail, atau terjaga dan berjaga di malam hari dengan mendirikan salat,
baca Al Qur’an, berzikir dan merenung sangat terbantu oleh Qahwa, sebutan lain
untuk kopi. Dikembangkan oleh Sufi Ali bin Omar dari Yaman menjadi obat aneka
penyakit, kopi terus menyebar ke seluruh dunia dengan banyak kisah.
Penyebaran kopi menorehkan riwayat panjang, mulai dari penanaman
massal, penyebaran agama Islam, penjajahan, perbudakan, penyelundupan, hingga
sejumlah eksekusi mati. Kini, mutiara-mutiara hitam itu tersedia dalam ragam
pilihan di kedai-kedai kopi. Arabica dan Robusta disajikan dalam deret menu, dari
kelas berat sampai kelas bulu. Darione shot espresso sampai
kopi saset. Dari kopi dingin di gelas kurus tinggi sampai kopi panas di cangkir
mungil.
Bisa berbeda harga hanya gara-gara berbeda nama. Kopi hitam yang
di warung cuma Rp 2.000 bisa dibandrol Rp 20 ribu di coffee shop lantaran
dilabeli dengan sebutan black coffee. Saya penggila kopi, tapi
tidak terlalu gila. Sehari maksimal cuma enam atau tujuh cangkir kopi. Tidak
berpengaruh juga jika saya menyesap secangkir kopi sebelum tidur. Hanya saja,
sebal juga jika tiap nongkrong atau begadang, selalu kopi yang disajikan untuk
saya.
Di alun-alun Tuban seusai ziarah ke makam Sunan Bonang, kopi lagi
yang dipesankan Picus untuk saya. Mampir ke toko waralaba dalam perjalanan ke
Lamongan untuk berziarah ke makam Sunan Drajat, saya dibelikan sekaleng kopi
dingin. Di Gresik, sambil istirahat setelah turun dari mendaki anak-anak tangga
ke makam Sunan Giri, lagi-lagi kopi yang Allah kirimkan kepada saya. Ternyata,
sungguh benar penuturan Gus Mus di Leteh: “Sufi iku kudu ngopi.”
Secangkir kopi bisa sampai ke hadapan saya sesungguhnya suatu
keajaiban luarbiasa. Kopi itu memiliki sejarah teramat panjang sejak dikenal
Suku Galla di Afrika Timur pada 1000 tahun Sebelum Masehi (SM). Sebelum tiba di
atas meja saya, secangkir kopi itu masih berupa biji-biji yang dipanen dari
kebun-kebun kopi. Ribuan, bahkan jutaan manusia, bekerja mengerahkan jiwa raga,
membanting tulang, memeras keringat, demi secangkir kopi saya ini.
Kopi bukan lagi minuman para sufi saja, tapi minuman bagi siapa
pun, terutama yang memang berhasrat memfungsikan lidah bagian belakang untuk
menyesap rasa pahit. Di cerpen berjudul “Mawar Hitam”, saya menulis, ”Aku
secangkir kopi saja. Tanpa gula. Aku tak terlalu suka pemanis untuk hal-hal
yang memang dikodratkan pahit.” Ah, andai boleh beribadah ditemani secangkir
kopi di samping sajadah, saya mungkin akan lebih sering i’tikaf