Selasa, 27 Januari 2015

BERFILSAFAT DENGAN LUCU #6







Y MALAIKAT SEJARAH  Z


Sebuah lukisan menonjol diantara berderet kesunyian. Angelus Novus, judul lukisan itu yang
 juga berarti malaikat sejarah. Lukisan menggambarkan seorang malaikat yang kelihatan seolah hendak melepaskan diri dari sesuatu yang ditatapnya lekat-lekat. Matanya terhentak, mulutnya ternganga, dan sayap-sayapnya membentang kepenjuru realita. Lukisan itu kemudian menginspirasi Walter Benjamin, sang pemurung dan flaneur itu, untuk mencetuskan metaforanya yang terkenal tentang “Malaikat sejarah”.
Sanga malaikat sejarah turun kebumi, ingin membangkitka orang mati serta mengumpulkan para korban sejarah. Angin kencang meniup sayapnya kedepan, tetapi kepala sang malaikat tetapi menoleh kearah mayat-mayat korban sejarah penindasan masa lalu. Dengan akta lain, melalui perumpamaan ini, Benjamin bersimpati kepada para korban. “dihadapan musuhnya,” begitulah kata Benjamin, “orang mati sekalipun tak akan pernah merasa aman andai kata musuh tersebar keluar sebagai pemenang”.
Tetapi teori malaikat sejarah Benjamin mendapat kritik tajam dari temannya, Syu’aeb.
“Benjamin, saya rasa engkau harus lebih akrap dengan malaikat penjaga neraka ketimbang malaikat sejarah”.
“mengapa sebabnya temanku?”
“karena kupikir,” jawab temannya. “jika kau nanti masuk neraka, kau tidak akan disiksa terlalu kejam disana”.
PERTANYAAN ? N
Setelah menempuh belajar sekian tahun perihal filsafat, tibalah saatnya dilakukan ujian. Pelajaran kita ini, mengutip sokrates: “Hidup yang tidak diuji adalah hidup yang tidak layak dijalani”.
Kini, pelajar kita sedang mengerjakan ujian tentang filsafat bahasa. Agak berdegub jantungnya melihat kertas soal. Pada kerta ujiannya terdapat sebaris kalimat soal berikut, “apakah ini sebuah pertanyaan?’
Ia sempat bingung. Benar juga kata Sokrates. Hidup memang perlu diuji. Tapi mbok ya jangan sepelik ini, batin pelajar kita itu. Kendati begitu, karena termasuk pelajar yang cerdas, dalam waktu singkat ia menulis sebuah kalimat pada lembar jawaban.
Isinya demikian, “jika itu sebuah pertanyaan, ini adalah sebuah jawaban”.
MANUSIA  BERASAL DARI ?
Seorang anak berusia enam tahun bertanya kepada ayahnya, “Ayah, dari manakah saya berasal?”
Sang Ayah merupakan dosen filsafat. Mendengar pertanyaan anaknya, ia berpikir bahwa dia harus member jawaban yang filosofis. Dalam hatinya juga terbesit rasa bangga sebab sia anak menuruni bakat filosofis bapaknya.
“anakku. Dari manakah kau berasal? Kau berasal dari dunia idea, kata Plato. Dunia yang ada disini hanyalah tiruan dari dunia yang lebih sempurna. Dunia itu disebut dunia idea oleh Plato. Dunia idea itu abadi. Berbeda dengan dunia disini”. Sang bapak juga menjelaskan panjang lebar tentang pendapat filsuf-filsuf lain. Mulai dari pandangan yang idealis sampai yang matrealis.
“oooo.. gitu ya yah,” si anak menggumam. Entang paham entah bingung.
Sang ayah masih penasaran terhadap anaknya, “anakku, mengapa engkau bertanya seperti itu?”
“soalnya yah, kemarin temanku ditanya dari mana asalmu? Dia menjawab dari Bandung, saya kan juga ingin tahu dari mana sebenarnya asal saya.”
Sang bapak pingsan tujuh purnama.