Salah satu pemikiran plato dituangkan dalam sebuah alegori tentang
gua. Manusia dudunia ini laksana orang yang hidup didalam gua. Mereka berdiri
membelakangi cahaya dan wajahnya menghadap dinding gua. Di dnding tersebut
datang silih berganti bayangan benda-benda. Bayangan itu mereka kira adalah
benda yang sebenarnya. Mereka tidak menyadari bahwa itu semua hanyalah
baying-bayang.
Syahdan seorang manusia gua keluar dari sana. Melihat dunia luar ia
terpana. Kesadaran menyapa dirinya. Dunia tak seperti yang kukira, ternyata.
Demikian keinda
han dunia ini. Berbeda dengan bayang-bayang didinding gua.
Dengan alegori gua itu, Plato ingin menunjukkan tentang adanya dua
ideal. Dunia yang sejati. Dunia yang disini hanyalah tiruan tidak sempurna dari
dunia yang disana.
“keluarlah,” seru Plato kepada rakyat Yunani. “keluarlah kalian
dari gua itu. Lihatlah dunia yang sebenarnya.”
“Plato,” menyambut salah seorang warga. “ada teman saya yang telah
keluar dari gua. Tapi katanya sama saja.”
“bagaimana bisa?” Plato serius keheranan.
Suasana hening. Seluruh mata tertuju kepada yang menyahut.
“teman saya itu buta.”
s Kehendak
untuk malas h
Namanya Paul Lafargue. Agar lebih singkat kita panggil Lafargue.
Namanya memang jarang kita dengar. Ia seprti hidung orang Indonesia : tidak
suka menonjol-nonjolkan diri. Tapi kita segera tahu, paling tidak sedikit hal,
jika sampai berita kepada kita bahwa Lafargue merupakan menantu Karl Marx.
Lafargue adalah seorang jurnalis sosialis Marxis asal Prancis. Berbeda dengan
kaum Marxis lain yang menulis buku yang unik, Hak Untuk Malas. Di
awal buku itu ia mengutip Lessing, “marilah kita malas dalam segala hal,
kecuali untuk urusan cinta dan minum, kecuali untuk bermalas-malasan”.
Ia memang mengkritik kapitalisme. Kapitalisme telah merenggut
manusia yang kreatif, bebas, gembira. Kapitalisme menyulap manusia menjadi
komoditas, menjadi para pekerja tak kenal diri. Para pekerja seharusnya tidak
disebut sebagai karyawan, mengkreasi hidup mereka. Mereka bekerja, melakukan
kerja orang lain. Dan disinilah ia menolak dengan keras tesis Nietzsche :
Kehendak untuk kuasa.
Kita yang tidak tahu dengan jelas alasan penolakan Lafargue
bertanya : bagaimana?
“bukan kehendak untuk kuasa seperti kata Nietzsche. Seharusnya
kehendak untuk malas! Mari kita berhenti bekrja!”